Saking pentingnya sholat berjamaah lima waktu di masjid, Rasulullah SAW pernah berkeinginan untuk membakar rumah orang yang tidak mau sholat berjamaah di masjid. Bahkan, Allah ta’ala telah mengancam dengan ancaman yang sangat mengerikan, yakni orang yang tidak shalat berjamaah tidak akan dapat bersujud ketika kaum mukminin diperintahkan sujud di akhirat kelak. Tulisan ini adalah bagian terakhir dari seri "Pria Muslim Wajib Sholat Berjamaah".
9. Keinginan Nabi SAW untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah
9. Keinginan Nabi SAW untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan
wajibnya shalat jama’ah adalah apa yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang
shahih tentang keinginan Nabi SAW untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak
mau menghadiri shalat jama’ah. Diantaranya yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Allah yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu
bakar kemudian dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan
dikumandangkanlah adzan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka.
Sedangkan aku pergi kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat jama’ah) kemudian
aku bakar rumah-rumah mereka. Sungguh demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya kalau
saja salah seorang dari mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan sekerat
daging paha dan punggung kambing yang bagus tentu mereka akan menghadiri shalat
Isya’.” (HR. Bukhari dalam kitabul Adzan, bab Wujubus shalatil jama’ah, no.
644, 2/125)
Ancaman ini sangat jelas menunjukkan
kewajiban melaksanakan shalat jama’ah. Bahkan Imam Bukhari pun memberikan judul
babnya dengan kalimat “Bab wajibnya shalat jama’ah”. Sedangkan kita semua tahu
bahwa fiqihnya Imam Bukhari terlihat pada judul-judul bab dalam kitab
Shahihnya.
Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya
memberikan judul “Hadits-hadits tentang penggunaan ancaman-ancaman keras Nabi SAW
untuk memperingatkan orang yang tidak menghadiri shalat Isya’ dan Shubuh
berjama’ah”. (lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibni Hibban, 5/451). Ancaman-ancaman
Rasulullah SAW ini bukan berlaku atas orang yang meninggalkan shalat
sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ancaman ini ditujukan
kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun dia shalat di rumahnya.
Dalam salah satu riwayat disebutkan
secara jelas bahwa mereka yang diancam akan dibakar rumah-rumahnya adalah
mereka yang melakukan shalat di rumah-rumah mereka. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Sungguh aku sangat berkeinginan
memerintahkan para pemudaku untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku datangi
suatu kaum yang shalat di rumah-rumah mereka tanpa ada udzur dan aku bakar
rumah-rumah mereka.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabus shalah bab at-Tasydid fit
Tarkil Jama’at, no. 545 2/253-254. Syaikh al-Albani berkata tentang hadits ini:
“Shahih tanpa kalimat ” (Shahih Sunan Abi Dawud 1/110)
Dalam hadits di atas dijelaskan secara
tegas bahwa Rasulullah SAW sangat berkeinginan membakar rumah orang-orang yang
mengerjakan shalat wajib di rumahnya dan tidak berjama’ah di masjid. Meskipun
keinginan Rasulullah tersebut tidak diwujudkan, tapi hal itu cukup sebagai
peringatan dan ancaman atas mereka. Dan tidaklah menghalangi beliau dari
niatnya, kecuali adanya wanita dan anak-anak.
Di antara para ulama yang mengambil
kesimpulan dari hadits ini tentang wajibnya shalat berjama’ah adalah:
Ibnu Hajar al-Asqalani -ketika
mengomentari hadits di atas—berkata: “Adapun hadits ini sangat jelas
menunjukkan bahwa shalat berjama’ah adalah fardlu ‘ain (kewajiban atas setiap
individu), karena kalau ia hanya merupakan anjuran saja, tidak mungkin beliau
mengancam dengan ancaman membakar rumah-rumah mereka. Demikian pula kalau
kewajibannya adalah hanya fardlu kifayah, maka dengan telah ditegakkannya
shalat jama’ah oleh Rasulullah dan sebagian shahabatnya, gugurlah kewajiban
bagi yang lainnya.” (Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 2/125-126)
Abu Bakar al-Kisani al-Hanafi –ketika
beliau menyebutkan hadits-hadits tentang shalat jama’ah ini—berkomentar:
“Ancaman Rasulullah SAW seperti ini tidak mungkin terjadi, kecuali atas orang
yang meninggalkan satu kewajiban”. (Bada’ius Shanaie 1/155).
Faedah lainnya dari hadits-hadits di atas
adalah bolehnya beberapa orang (petugas) meninggalkan shalat berjama’ah untuk
menyuruh manusia melakukan shalat berjama’ah di masjid.
Ibnu Hajar al-Asqalani –ketika
menjelaskan faedah hadits-hadits ini—berkata: “Dalam hadits ini terdapat
keringanan bagi imam atau wakilnya untuk meninggalkan shalat jama’ah dengan
tujuan mengeluarkan orang-orang yang bersembunyi di rumah mereka untuk shalat
jama’ah”. (Fathul Bari, 2/130)
10. Akibat jelek yang
disebabkan karena tidak menyambut panggilan shalat
Allah ta’ala telah mengancam dengan
ancaman yang sangat mengerikan, yakni orang yang tidak shalat berjamaah tidak
akan dapat bersujud ketika kaum mukminin diperintahkan sujud di akhirat kelak.
Allah ta’ala berfirman:
“Pada hari betis disingkapkan dan
mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam
keadaan sehat”. (QS. Al-Qalam: 42-43)
Yang dimaksud yud’auna ilas sujud
adalah panggilan untuk sujud dengan suara adzan, yakni ketika mereka dipanggil
untuk melakukan shalat berjama’ah. Makna ayat ini adalah orang yang tidak mau
memenuhi panggilan adzan di dunia terancam kehinaan dan akan dipermalukan pada
hari kiamat yakni ketika seluruh manusia sujud, mereka tidak dapat sujud.
Ibnu Abbas r.a. -Shahabat yang ahli dalam
bidang tafsir—ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Mereka dulu (di dunia)
mendengarkan adzan dan panggilan untuk shalat, namun tidak mengindahkannya”.
(Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, 29/36)
Pendapat Ibnu Abbas di atas bukan hanya
dikuatkan oleh seorang dari kalangan salaf, melainkan banyak dari mereka yang
juga mengatakan demikian.
Ka’bul Akhbar r.a. berkata: “Demi Allah
tidaklah turun ayat ini, kecuali tentang orang-orang yang meninggalkan shalat
jama’ah. Adakah ancaman yang lebih dahsyat dari pada ancaman di
atas bagi orang yang meninggalkan shalat berjamaah padahal ia mampu
melaksanakannya?” (Lihat Tafsir al Baghawi, 4/ 283, Zaadul Masiir 8/342
dan Tafsir al-Qurthubi, 18/251)
Ibrahim an-Nukhai r.a. berkata: “Yakni
mereka dipanggil dengan adzan dan iqamah, tetapi menolaknya”. (Lihat Tafsir
al-Qurthubi, 18/151 dan Ruuhul Ma’ani, 29/36)
Ibrahim at-Taimiy r.a. berkata: “Yakni
diajak untuk shalat wajib dengan adzan dan iqamah”. (Lihat Tafsir al-Baghawi,
4/ 283)
Al-Hafidh Ibnul Jauzi r.a. menyimpulkan
faedah ayat ini: “Dalam ayat ini terdapat ancaman atas orang-orang yang
meninggalkan shalat jama’ah”. (Lihat Zaadul Masiir 8/342)
Fachrurrozi r.a. berkata: “Yakni ketika
mereka diseru untuk shalat dengan adzan dan iqamah, padahal mereka dalam
keadaan sehat dan mampu untuk melakukannya (di dunia). Di sini terdapat ancaman
bagi orang yang duduk dan meninggalkan shalat jama’ah dan tidak memenuhi
panggilan muadzin untuk shalat secara berjama’ah”. (at-Tafsiirul Kabiir, 30/96)
Ibnul Qayyim r.a. berkata: “Tidak hanya
dari satu orang kalangan salaf yang berkata tentang ucapan Allah (ayat ini)
bahwa yang dimaksud adalah panggilan muadzin hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal
falah”. (Kitabus shalah, hal. 65)
(Diambil dari kitab Ahammiyyatus Shalatil
Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 59 -64).
Said bin Musayyib, imamnya para Tabi’in
berkata tentang ayat ini, “Mereka mendengar ‘hayya ‘alas sholah hayya ‘alal
falah’ namun mereka tidak mendatanginya padahal mereka sehat”.
"Barangsiapa mendengar adzan, lalu
ia tidak datang (ke masjid) maka tak ada shalat baginya, (tidak diterima
shalatnya) kecuali karena udzur (halangan syar'i)."(Dikeluarkan oleh Ibnu
Majah (792), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (29064), al-Hakim (1/246)
dengan sanad shahih). Ibnu Abbas ra. pernah ditanya tentang udzur tersebut,
lalu ia menjawab, "Rasa takut (suasana tidak aman) atau sakit
(penyakit)."
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah r.a.
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa telah datang kepada beliau
seorang laki-laki buta lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang
yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di
rumahku?" kemudian beliau bertanya, "Apakah engkau mendengar seruan
untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi,
"Kalau begitu, penuhilah (panggilan adzan tersebut)."(HR. Muslim,
kitab al-Masajid (653)).
(Dikutip dari Bulletin Al Manhaj, Edisi
94/Th. III, 02 Safar 1427 H/03 Maret 2006 M, Edisi 95/Th. III 09 Safar 1427
H/10 Maret 2006 M, Edisi 96/Th. III 16 Safar 1427 H/17 Maret 2006 M, dan Edisi
97/Th. III 23 Safar 1427 H/24 Maret 2006 M, tulisan Al Ustadz Muhammad Umar as
Sewed, judul asli Meninggalkan Sholat merupakan Ciri Kemunafikan dan Ancaman
Allah dan Rasul-Nya bagi yang Meninggalkan Sholat Berjamaah. Dapat dibaca juga
di http://salafy.or.id/blog/2006/03/31/lagi-wajibnya-sholat-berjamaah-1/).
Meninggalkan shalat adalah kafir akbar
berdasarkan pendapat ulama yang paling shahih sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Batas antara seorang muslim dengan kafir
atau syirik adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
“Perjanjian antara kami dengan mereka
adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia telah kafir.” (HR.
Imam Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad yang shahih).
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.”
(Qs. at-Taubah: 5)
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa orang
yang tidak shalat tidak diberi kebebasan untuk berjalan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sesungguhnya, aku melarang membunuh
seseorang yang mengerjakan shalat.”
”Sebaik-baik shalat seseorang adalah di
rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seluruh hadits di atas dan
hadits-hadits lain yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya shalat berjamaah
di masjid bagi kaum laki-laki. Dan orang yang sengaja meninggalkannya,
menyerupai sifat-sifat kaum munafiqin. Jadi, yang wajib dilakukan adalah
bersikap hati-hati (dari meninggalkan shalat berjamaah). Dan tak ada arti dari
perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena seluruh pendapat yang bertentangan
dengan dalil-dalil syar'iyah wajib untuk dibuang dan tidak boleh dipegang.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala ,
"Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa': 59).
Dalam ayat lain disebutkan,
"Tentang sesuatu apa pun kamu
berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."(QS. asy-Syuraa: 10).
Dalam shahih Muslim dari Abdullah bin
Mas'ud ra., bahwa beliau berkata, "Sungguh kami melihat para sahabat di
antara kami, tak ada yang meninggalkannya (yaitu shalat jamaah), kecuali
munafiq, atau orang sakit. Sampai-sampai ada seseorang didatangkan (ke masjid)
dipapah di antara dua orang untuk diberdirikan di tengah-tengah shaf."
Tak diragukan lagi, bahwa hal ini
menunjukkan betapa perhatian yang begitu besar dari para sahabat terhadap
shalat jamaah di masjid, sampai-sampai mereka terkadang mengantarkan seseorang
yang sakit dengan dipapah di antara dua orang agar bisa shalat berjamaah.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala meridhai semua perbuatan mereka. Dan hanya
Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.
Keutamaan Shalat
Berjamaah
Keutamaan shalat berjamaah sangat
banyak, banyaknya pahala yang dijanjikan diantaranya: Pahala dilipatgandakan 27
derajat, langkah kaki ketika menuju masjid menghapus dosa dan meningkatkan
derajat, dan lain sebagainya.
Hikmah shalat berjamaah juga sangat
banyak, meningkatkan rasa persatuan sesama muslim, persaudaraan, kepekaan
sosial karena senantiasa bertemu, dan lain sebagainya.
Dari keterangan-keterangan di atas,
tidak diragukan lagi bahwa shalat berjamaah ketika diserukan adzan adalah
fardhu ‘ain bagi laki-laki, kecuali adanya udzur syar’i. Sementara untuk muslimah,
yang lebih utama adalah shalat di rumah, bukan di masjid.
Pantaskah kita enggan memenuhi
panggilan adzan sementara Allah ta’ala dan Rasul-Nya telah mewajibkan kepada
kita? Allah ta’ala telah menciptakan kita, yang semula tidak ada menjadi ada,
yang telah memberikan nikmat kesehatan kepada kita sementara banyak orang
terbaring di rumah sakit, pantaskah kita untuk tidak bersukur kepada-Nya dengan
mengabaikan perintah-perintah-Nya?
Jika ada orang yang memberikan
uang kepada kita Rp1 juta, tentu kita akan berterima kasih berkali-kali. Mana
rasa syukur kita terhadap nikmat Allah ta’ala yang begitu banyak? Shalat sendiri lima waktu di rumah belum bisa dikatakan bersyukur
karena Allah ta’ala meminta kita untuk shalat berjamaah di masjid.
Semoga Allah SWT senantiasa meringankan
langkah kita ke masjid ketika dipanggil dengan seruan “Hayya ‘alash shalah….”
kalau saya org nya cupu dan loyo.. saya tdk becus kerja dan nyari jodoh, saya sejak kecil sering dihina, dimanfaatkan, dibohongi org.. apakah org spt saya wajib sholat?
BalasHapus