Suatu ketika saya bersama istri sedang berada di atas
kapal laut menuju Bali. Ikut dalam rombongan keluarga saya Ibu dan Tante. Ketika tiba saatnya sholat Dhuhur, saya dan istri berjalan menuju musholla lalu
berwudhu. Setelah selesai berwudhu, Tante melihat kami bergandengan tangan.
Tante pun heran luar biasa, karena dalam pemikirannya, bersentuhan suami dengan
istri menjadi salah satu hal pembatal wudhu. Benarkah jika suami bersentuhan
dengan istri maka wudhunya menjadi batal dan harus mengulang berwudhu kembali?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita tidak akan
menjadikan kebiasaan orang pada umumnya atau doktrin dari guru mengaji kita di
kampung sebagai dasar hukum. Yang akan kita jadikan pegangan adalah Al-Quran
dan hadis-hadis shahih saja.
Dalil Pertama:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 43)
Coba perhatikan kata "Laamastumun nisaa" dalam bahasa Arabnya pada ayat di atas. "Laamastumun nisaa" itu diartikan sebagai "menyentuh perempuan" dalam terjemahan pada umumnya. Padahal, yang dimaksud sebenarnya dalam ayat tersebut bukan bersentuhan kulit antara suami dengan istri, tetapi berhubungan suami istri atau bersenggama. Salah satu
makna kata لَمَسَ dalam bahasa
Arab adalah jima’ (al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259).
Para pakar
ahli tafsir telah menafsirkan kata لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut dengan jima’ di antaranya adalah
sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian
pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri,
Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan
lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh
ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam
Bidayatul Mujtahid.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata:
“Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah
hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh
Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam
tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya
menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat
mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka
mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana
penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Dalil Kedua:
Salah satu sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yakni Urwah pernah berkata bahwa dirinya pernah
mendengar dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya
kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Mendengar pernyataan
itu, Urwah lalu bertanya kepada Aisyah r.a.: “Yang Anda maksud dengan istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Anda kan? Lalu Aisyah
tertawa.
(Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i:
170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323.
Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504
Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138
Syaikh Ahmad Syakir).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak
membatalkan wudhu.
Dalil Ketiga:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kaki saya berada di arah
kiblatnya. Ketika Beliau sujud, Beliau menyentuh saya lalu saya mengangkat
kedua kaki saya, dan bila Beliau berdiri, saya kembali membentangkan kedua kaki
seperti semula. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak
membatalkan wudhu.
Dalil Keempat:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, saya mencarinya
lalu tangan saya mengenai kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat dan
berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR.
Muslim: 486).
Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidak
membatalkan wudhu.
Dalil Kelima:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sedangkan saya tidur terbentang
di depannya layaknya jenazah sehingga apabila Beliau ingin melakukan witir,
Beliau menyentuh saya dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya
shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak
membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata dalam at-Talkhis hal.
48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam
ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu
beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi)”.
Al-Quran dan Hadis-hadis shahih telah menyatakan dengan
jelas bahwa bersentuhan suami dengan istri tidak membatalkan wudhu. Bahkan,
kalau pun kita merujuk pendapat ulama terkemuka, argumennya pun akan identik
dengan Al-Quran dan hadis-hadis shahih. Silakan lihat kitab Majmu’ Fatawa karya
Ibnu Taimiyyah 21:235. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan bahwa wudhu
itu hukum asalnya suci dan wudhu tidak batal kecuali ada dalil yang
mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, menurut beliau pembatal itu
tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh istri adalah suatu hal
yang amat sering terjadi. Seandainya hal itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan
masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat
yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya.
Dengan merujuk Al-Quran, hadis-hadis shahih, dan pendapat
para ulama, maka dapat kita simpulkan bahwa bersentuhan suami dengan istri
tidak membatalkan wudhu, kecuali jika bersentuhan itu mengakibatkan keluarnya air
mani dan madhi maka batal wudhunya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus