Senin, 09 Desember 2013

Bersentuhan Suami Istri Tidak Membatalkan Wudhu

Suatu ketika saya bersama istri sedang berada di atas kapal laut menuju Bali. Ikut dalam rombongan keluarga saya Ibu dan Tante. Ketika tiba saatnya sholat Dhuhur, saya dan istri berjalan menuju musholla lalu berwudhu. Setelah selesai berwudhu, Tante melihat kami bergandengan tangan. Tante pun heran luar biasa, karena dalam pemikirannya, bersentuhan suami dengan istri menjadi salah satu hal pembatal wudhu. Benarkah jika suami bersentuhan dengan istri maka wudhunya menjadi batal dan harus mengulang berwudhu kembali?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita tidak akan menjadikan kebiasaan orang pada umumnya atau doktrin dari guru mengaji kita di kampung sebagai dasar hukum. Yang akan kita jadikan pegangan adalah Al-Quran dan hadis-hadis shahih saja.

Dalil Pertama:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 43)

Coba perhatikan kata "Laamastumun nisaa" dalam bahasa Arabnya pada ayat di atas. "Laamastumun nisaa" itu diartikan sebagai "menyentuh perempuan" dalam terjemahan pada umumnya. Padahal, yang dimaksud sebenarnya dalam ayat tersebut bukan bersentuhan kulit antara suami dengan istri, tetapi berhubungan suami istri atau bersenggama. Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259).

Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan kata لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut dengan jima’ di antaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Dalil Kedua:
Salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Urwah pernah berkata bahwa dirinya pernah mendengar dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Mendengar pernyataan itu, Urwah lalu bertanya kepada Aisyah r.a.: “Yang Anda maksud dengan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Anda kan? Lalu Aisyah tertawa.
(Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu.

Dalil Ketiga:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kaki saya berada di arah kiblatnya. Ketika Beliau sujud, Beliau menyentuh saya lalu saya mengangkat kedua kaki saya, dan bila Beliau berdiri, saya kembali membentangkan kedua kaki seperti semula. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu.

Dalil Keempat:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, saya mencarinya lalu tangan saya mengenai kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat dan berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).
Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidak membatalkan wudhu.

Dalil Kelima:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila Beliau ingin melakukan witir, Beliau menyentuh saya dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi)”.

Al-Quran dan Hadis-hadis shahih telah menyatakan dengan jelas bahwa bersentuhan suami dengan istri tidak membatalkan wudhu. Bahkan, kalau pun kita merujuk pendapat ulama terkemuka, argumennya pun akan identik dengan Al-Quran dan hadis-hadis shahih. Silakan lihat kitab Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyyah 21:235. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan bahwa wudhu itu hukum asalnya suci dan wudhu tidak batal kecuali ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, menurut beliau pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh istri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya hal itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya.

Dengan merujuk Al-Quran, hadis-hadis shahih, dan pendapat para ulama, maka dapat kita simpulkan bahwa bersentuhan suami dengan istri tidak membatalkan wudhu, kecuali jika bersentuhan itu mengakibatkan keluarnya air mani dan madhi maka batal wudhunya.

Artikel Terkait Fiqih

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...