Kamis, 30 Januari 2014

Agama dan Negara (3)

Korupsi politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Namun, masyarakat seringkali salah mengira. Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal, fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi.

Salah satu bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan memperjualbelikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya, anggota legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang.

Tertangkapnya sejumlah anggota DPR maupun DPRD dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktik politik kotor legislatif memang berlangsung secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara berjama’ah.

Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik

Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada syariat dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan memperjualbelikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariat Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.

Bagi anda yang masih saja menganggap negara tidak perlu diatur dengan agama, atau anda masih mendukung sistem demokrasi, cobalah untuk mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

1.     Hukum selain hukum Allah SWT adalah hukum thogut, membenarkannya = kafir (lihat QS. Al-Maidah: 44)

2. Salah satu bentuk kekufuran demokrasi adalah menentukan hukum dengan voting, sedangkan tidak berhak bagi seorang yang mengaku muslim untuk menistakan hukum Allah SWT dengan cara pengambilan suara terbanyak, karena Islam adalah ketundukan yang mutlak terhadap perintah Allah SWT. Contoh; dalam suatu majelis diadakan voting untuk menentukan hukum wajibnya hukuman rajam bagi pezina. Kesalahan pertama, apa yang diwajibkan pertama adalah apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT masih juga dipertimbangkan pelaksanaanya.

3.  Sesuai dengan kaidah ushul fiqih “Suatu kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa diiringi sesuatu, maka sesuatu yang mengiringi kewajiban itu hukumnya wajib”. Menerapkan hukum-hukum Allah SWT adalah wajib sedangkan tidak akan tegak hukum Allah SWT tanpa ada institusi yang menegakkannya, maka adanya institusi itu menjadi wajib hukumnya.

4.  Fakta nyata bahwa demokrasi tidak pernah bisa menegakkan Islam adalah sejak Indonesia merdeka hingga sekarang hukum Islam tidak pernah tegak secara sempurna padahal mayoritas penguasa dan para pembantunya adalah muslim. Di sisi lain demokrasi tidak berdasarkan pada ketundukan kepada Allah SWT, tapi ketundukan pada hasil kompromi dan suara terbanyak.

5.   Model pemerintahan yang harus mengatur urusan umat Islam adalah model pemerintahan yang dijalankan Rasulullah SAW yaitu Khilafah dengan metode kenabian.

6.  Pemimpin dipilih dengan cara musywarah yang dilakukan oleh orang-orang alim dan shaleh (sesuai dengan metode dipilihnya Rasulullah sebagai pemimpin, dan pemimpin-pemimpin setelahnya) yang diwakili oleh sekelompok orang yang kompeten tehadap hukum Islam yang patuh dan tunduk hanya pada Allah SWT (ahlul halli wal aqdi).

7.  Pemimpin yang dipilih bukanlah pemimpin yang mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin kepada majelis pemilihan pemimpin, bukan pemimpin yang melakukan kampanye sebagai calon pemimpin. Orang yang mengajukan diri sebagai pemimpin sudah pasti sangat tidak layak menjadi pemimpin karena tidak meneladani Rasulullah SAW dan para sahabat.

8.    Pemimpin bukanlah sebagai penguasa, tapi wakil Allah SWT dan pelayan ummat. Dialah yang berhak melegalisasi hukum-hukum derivatif (hasil ijtihad yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah) yang akan diterapkan dalam masyarakat.

9.    Masa pemerintahan tidak dibatasi oleh waktu, tapi dibatasi oleh sejauh mana ketaatan pemimpin dalam menjalankan hukum-hukum Allah SWT.

10. Pemimpin akan diawasi oleh sekelompok orang yang terbentuk dalam majelis ummat. Jika pemimpin melakukan kesalahan, maka tugas majelis ummat adalah mengingatkannya.

11.  Majelis ummat tidak sama dengan majelis permusyawaratan karena di dalamnya tidak mengambil keputusan berdasarkan voting, tapi musyawarah yang berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah. Orang-orang yang berada di majelis umat adalah orang-orang yang dipercaya oleh umat sebagai orang alim yang senantiasa taat pada Allah.

12. Cara pemilihan anggota majelis ummat tidak sama dengan pemilu. Calon wakil umat tidak mencalonkan dirinya sendiri tapi langsung dicalonkan oleh masyarakat. Dia tidak membangga-banggakan diri dengan melakukan kampanye munafik ala orang kafir, tidak memasang baliho, dan tidak mengiklankan diri di media massa. Pemilihan juga tidak dilangsungkan secara seremonial dan menghambur-hamburkan banyak kekayaan negara hingga puluhan triliun rupiah. Majelis ummat juga tidak berhak menentukan jumlah anggaran belanja yang akan diambil dari kekayaan negara. 

    Mari bertobat, tinggalkan ideologi sekuler, tinggalkan demokrasi, kembalilah ke jalan Allah SWT.



Artikel Terkait Politik

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...