Korupsi politik senantiasa muncul dalam
masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem demokrasi,
tidak terkecuali di Indonesia. Namun, masyarakat seringkali salah mengira.
Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan
individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal, fakta menunjukkan bahwa sistemlah
yang menghasilkan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang
kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk
korupsi.
Salah satu bentuk korupsi politik yang
paling menonjol adalah dengan memperjualbelikan pasal-pasal dalam undang-undang
atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan
anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya,
anggota legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik
di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan
yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu
dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu
semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang.
Tertangkapnya sejumlah anggota DPR maupun
DPRD dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktik politik kotor legislatif memang
berlangsung secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah
yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah
investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang yang bermental korup
justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika
lembaga perwakilan rakyat lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan
individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat.
Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi
kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan
korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara berjama’ah.
Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik
Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada syariat dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan memperjualbelikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariat Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.
Bagi anda yang masih saja menganggap negara tidak perlu diatur dengan agama, atau anda masih mendukung
sistem demokrasi, cobalah untuk mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
1.
Hukum
selain hukum Allah SWT adalah hukum thogut, membenarkannya = kafir (lihat
QS. Al-Maidah: 44)
2. Salah
satu bentuk kekufuran demokrasi adalah menentukan hukum dengan voting,
sedangkan tidak berhak bagi seorang yang mengaku muslim untuk menistakan hukum
Allah SWT dengan cara pengambilan suara terbanyak, karena Islam adalah ketundukan yang mutlak
terhadap perintah Allah SWT. Contoh; dalam suatu majelis diadakan voting untuk
menentukan hukum wajibnya hukuman rajam bagi pezina. Kesalahan pertama, apa
yang diwajibkan pertama adalah apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT masih
juga dipertimbangkan pelaksanaanya.
3. Sesuai
dengan kaidah ushul fiqih “Suatu kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa
diiringi sesuatu, maka sesuatu yang mengiringi kewajiban itu hukumnya wajib”. Menerapkan
hukum-hukum Allah SWT adalah wajib sedangkan tidak akan tegak hukum Allah SWT tanpa
ada institusi yang menegakkannya, maka adanya institusi itu menjadi wajib
hukumnya.
4. Fakta
nyata bahwa demokrasi tidak pernah bisa menegakkan Islam adalah sejak Indonesia
merdeka hingga sekarang hukum Islam tidak pernah tegak secara sempurna padahal
mayoritas penguasa dan para pembantunya adalah muslim. Di sisi lain demokrasi
tidak berdasarkan pada ketundukan kepada Allah SWT, tapi ketundukan pada hasil
kompromi dan suara terbanyak.
5. Model
pemerintahan yang harus mengatur urusan umat Islam adalah model pemerintahan
yang dijalankan Rasulullah SAW yaitu Khilafah dengan metode kenabian.
6. Pemimpin
dipilih dengan cara musywarah yang dilakukan oleh orang-orang alim dan shaleh (sesuai
dengan metode dipilihnya Rasulullah sebagai pemimpin, dan pemimpin-pemimpin
setelahnya) yang diwakili oleh sekelompok orang yang kompeten tehadap hukum
Islam yang patuh dan tunduk hanya pada Allah SWT (ahlul halli wal aqdi).
7. Pemimpin
yang dipilih bukanlah pemimpin yang mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin
kepada majelis pemilihan pemimpin, bukan pemimpin yang melakukan kampanye
sebagai calon pemimpin. Orang yang mengajukan diri sebagai pemimpin sudah pasti
sangat tidak layak menjadi pemimpin karena tidak meneladani Rasulullah SAW dan
para sahabat.
8.
Pemimpin
bukanlah sebagai penguasa, tapi wakil Allah SWT dan pelayan ummat. Dialah yang
berhak melegalisasi hukum-hukum derivatif (hasil ijtihad yang berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah) yang akan diterapkan dalam masyarakat.
9.
Masa
pemerintahan tidak dibatasi oleh waktu, tapi dibatasi oleh sejauh
mana ketaatan pemimpin dalam menjalankan hukum-hukum Allah SWT.
10. Pemimpin akan diawasi oleh sekelompok orang yang
terbentuk dalam majelis ummat. Jika pemimpin melakukan kesalahan, maka tugas majelis ummat
adalah mengingatkannya.
11. Majelis ummat tidak sama dengan majelis permusyawaratan
karena di dalamnya tidak mengambil keputusan berdasarkan voting, tapi
musyawarah yang berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah. Orang-orang yang berada
di majelis umat adalah orang-orang yang dipercaya oleh umat sebagai orang alim
yang senantiasa taat pada Allah.
12. Cara pemilihan anggota majelis ummat tidak sama dengan
pemilu. Calon wakil umat tidak mencalonkan dirinya sendiri tapi langsung
dicalonkan oleh masyarakat. Dia tidak membangga-banggakan diri dengan melakukan
kampanye munafik ala orang kafir, tidak memasang baliho, dan tidak mengiklankan
diri di media massa. Pemilihan juga tidak dilangsungkan secara seremonial dan menghambur-hamburkan
banyak kekayaan negara hingga puluhan triliun rupiah. Majelis ummat juga tidak
berhak menentukan jumlah anggaran belanja yang akan diambil dari kekayaan
negara.
Mari bertobat, tinggalkan ideologi sekuler, tinggalkan demokrasi, kembalilah ke jalan Allah SWT.
Mari bertobat, tinggalkan ideologi sekuler, tinggalkan demokrasi, kembalilah ke jalan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar