Ciri-ciri dan karakter syirik demokrasi
sama saja jika ditinjau dari sisi teori demokrasi atau pun
dikaji dari sisi realitas yang terjadi di dunia saat ini. Secara teori, keputusan
(hukum) yang dirujuk dalam sistem demokrasi diserahkan kepada seluruh rakyat
atau mayoritas elit politik. Sementara melihat kenyataannya sekarang, keputusan
(hukum) dalam sistem demokrasi menjadi privileges (keistimewaan) yang dimiliki segelintir penguasa, kalangan keluarga dekatnya, dan
kroni-kroninya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang menguasai modal usaha
dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan
kursi atau memberikan kursi legislatif, eksekutif, dan yudikatif kepada
orang-orang yang mereka sukai. Demokrasi jika ditinjau dan dikaji dari sisi mana
pun bertentangan dengan Islam. Berikut ini alasan-alasannya:
1. Demokrasi adalah Tasyrii’ul
Jamaahiir
Tasyrii’ul Jamaahiir adalah penyandaran hak dan wewenang
menciptakan atau membuat hukum kepada
rakyat, mayoritas rakyat, atau kepada thaghut,
dan bukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan nabi-Nya untuk menghukum sesuai dengan apa yang telah Dia
turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau
mayoritas orang atau rakyat, Dia mengingatkan nabi-Nya agar jangan sampai
mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”
(Al-Maaidah: 49)
Dalam sistem demokrasi, ada
ajaran syirik, maka para penganut setia demokrasi bisa berkata: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan
mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang
mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya”.
Itulah yang diajarkan dan
ditetapkan oleh sistem demokrasi. Menyerahkan kewenangan membuat hukum dasar kepada
manusia jelas merupakan bentuk kekafiran. Namun, para ulama yang pro demokrasi tetap
mengatakan bahwa demokrasi adalah syuraa
(musyawarah) dan kita harus ikut andil di dalamnya serta merealisasikannya. Mereka
mengutip ayat-ayat Qur’an dan hadits untuk mempengaruhi masyarakat. Para antek
demokrasi pun menghargai ulama pro demokrasi dan mengatakan bahwa mereka adalah
orang-orang Islam yang demokratis. Perhatikan saja faktanya sekarang, apakah
jalan musyawarah masih ditempuh oleh para penganut demokrasi? Mereka
mengharamkan musyawarah, tapi menghalalkan pemungutan suara. Bayangkan, suara
terbanyak dijadikan standard kebenaran dalam sistem demokrasi, padahal yang
banyak itu belum tentu benar.
Pada kenyataannya, secara
sadar atau tidak, semua antek demokrasi memiliki pemikiran seperti ini: “Dan hendaklah para pengambil keputusan
memutuskan perkara menurut apa yang diinginkan oleh para antek demokrasi, dan
janganlah satu hukum atau peraturan dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan
persetujuan dari para antek demokrasi.”
2. Kewajiban Untuk Menyesuaikan Konstitusi
Hukum yang dibuat oleh institusi
perwakilan rakyat harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD), bukan sesuai
dengan syari’at Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal itulah yang selalu ditegaskan
oleh UUD dan buku-buku pendidikan demokrasi yang disakralkan dan disucikan oleh
para antek demokrasi lebih dari pensucian mereka terhadap Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan bukti bahwa UUD dan UU lebih didahulukan atau diutamakan daripada
Al-Qur’an. Dalam sistem demokrasi, hukum dan perundang-undangan yang dibuat
oleh lembaga perwakilan rakyat tidak bisa diterima kecuali bila keputusan itu
berdasarkan nash-nash UUD dan sesuai
dengan materi-materinya, karena UUD adalah induk segala peraturan dan
perundang-undangan serta kitab hukum yang mereka junjung tinggi.
3. Penistaan Al-Quran dan As-Sunnah
Dalam sistem demokrasi,
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak dianggap penting, diremehkan, dilecehkan, dan tidak mungkin suatu hukum
atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal
itu sejalan dengan nash-nash UUD yang
mereka junjung tinggi. Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Dalam sistem demokrasi bila terjadi
perselisihan atau perbedaan pendapat mengenai sesuatu, maka keputusannya harus
dikembalikan kepada rakyat melalui metode voting (pengambilan suara terbanyak) dan
harus pula sesuai dengan konstitusi. Oleh sebab itu, bila sebagian kecil
kelompok masyarakat menghendaki penerapan Syari’at Islam lewat jalur demokrasi,
melalui lembaga legislatif, maka sudah dapat dipastikan hal itu tidak akan bisa
terealisasi karena akan dianggap tidak sesuai dengan konstitusi. Konstitusi
atau UUD sudah dijelmakan melebihi kitab suci oleh antek-antek
demokrasi.
4. Pemisahan Agama dari Negara dan Hukum
Demokrasi adalah buah dari ideologi
sekuler yang berbahaya bagi umat manusia karena sekulerisme adalah paham kafir
yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama
dari negara dan hukum. Demokrasi menganggap hukum rakyat lebih patut ditaati
dan dijunjung tinggi ketimbang hukum Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi
sama sekali tidak mempertimbangkan hukum Allah yang muhkam, kecuali jika hukum
Allah SWT itu sesuai dengan konstitusi dan sesuai pula dengan keinginan para
poli tikus dan kroni-kroninya.
Oleh sebab itu, bila sebagian
rakyat mengatakan kepada thaghut atau
arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi: “Kami ingin
hukum Allah, syariat Islam, ditegakkan di Indonesia, dan tidak ada seorang pun yang
memiliki hak tasyrii’ selama-lamanya, baik itu rakyat atau para wakilnya
atau penguasa, kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad,
pezina, pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan
berhijab dan ‘afaaf, kami melarang tabarruj, buka-bukaan, porno, cabul, zina,
liwath (homoseksual), dan perbuatan keji lainnya.”
Maka dengan spontan para thaghut atau antek-antek demokrasi akan bilang begini: “Tidak bisa, hukum
Allah SWT bertentangan dengan konstitusi, paham demokrasi, kebebasannya
berpendapat, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)!
Inilah kebebasan yang
kebablasan dalam sistem demokrasi: melepaskan diri dari agama Allah,
syari’at-Nya, dan melanggar batasan-batasannya. Konstitusi dan hukum di negara
sekuler akan selalu dijaga, dijunjung tinggi, disucikan, disakralkan, serta
dilindungi dalam bingkai sistem demokrasi. Orang-orang yang berusaha melanggar,
menentang, atau menggugurkannya akan merasakan sanksinya.
Demokrasi betul-betul sudah
seperti agama baru di luar agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demokrasi tak lain
adalah sistem thaghut yang melanggar
hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demokrasi adalah syari’at para elit politik
yang telah bertindak melampaui kewenangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam menetapkan hukum, bukan
syari’at Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar