Coba
perhatikan di sekitar anda, banyak sekali orang yang tidak peduli dengan sholat
berjamaah di masjid. Ketika azan berkumandang, mereka tetap sibuk dengan
dunianya, yang berdagang masih saja meneruskan transaksinya, yang bekerja di
kantor terus saja melakukan pekerjaannya, yang berkendara terus saja
melanjutkan perjalanannya. Kalau diajak sholat berjamaah di masjid, ada saja
alasan untuk menolaknya. Dalihnya, bekerja juga ibadah, sholat ga harus ke
masjid, nanggung kerjaannya sedikit lagi selesai, dan berbagai alasan lainnya.
Bagaimana hukumnya sholat berjamaah di masjid bagi setiap muslimin? Setidaknya
ada 10 penjelasan yang menjadi dasar hukum bahwa setiap muslim wajib sholat
berjamaah ketika mendengar azan berkumandang. Karena penjelasannya panjang
banget, kita akan bagi tulisan mengenai wajibnya sholat berjamaah ini menjadi
tiga bagian.
1. Perintah Allah ta’ala untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’
Allah SWT telah memerintahkan kita
untuk shalat secara berjamaah sebagaimana firman-Nya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Syaikh Muhammad Nashir As-Sa’di
menafsirkan ayat di atas bahwa perkataan Allah SWT yang artinya, “Ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku”, maksudnya adalah shalatlah bersama-sama orang
yang shalat. Dalam ayat ini terkandung perintah untuk shalat berjama’ah dan
perintah ini menunjukkan kewajibannya. (Tafsir Karimirrahman fii Tafsiiril
Kalamil Mannan).
Hafidz Ibnul Jauzi ketika menafsirkan
ayat tersebut dengan “Yakni shalatlah bersama orang-orang yang shalat”. (Zaadul
Masir, 1/75)
Qadli al-Baidlawi berkata: “Yakni bersama
jama’ah mereka”. (Tafsir al-Baidlawi 1/59)
Abu Bakar al-Kisani berkata: “Ayat ini
adalah perintah untuk ruku’ bersama-sama dengan orang-orang yang ruku’, dan ayat
ini menunjukkan adanya perintah untuk menegakkan shalat berjama’ah. Adanya perintah
menunjukkan bahwa perkara tersebut wajib dilakukan”. (Bada’iu ash-Shanai’i fi
Tartiibi asy-Syara’ii, 1/155)
2. Perintah Allah ta’ala
untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf (genting)
Allah ta’ala memerintahkan kepada
Rasulullah SAW dan para shahabatnya untuk shalat berjama’ah walaupun dalam
keadaan khauf (genting), yaitu dalam situasi perang. Hal ini menunjukkan kalau
shalat jama’ah merupakan perkara yang penting dan wajib. Allah ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat untuk mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan
tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang
kafir itu.” (QS. an-Nisaa’: 102)
Ibnul Mundzir berkata “Ketika Allah
perintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf, tentunya dalam keadaan
aman lebih diwajibkan”. (Al-Ausath fie Sunani wal Ijtima’i wal Ikhtilafi,
4/135). Kalau saja shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu perang merupakan
udzur yang sangat besar untuk meninggalkan shalat jama’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya diperintahkannya shalat khauf bersama jama’ah dengan tata cara
khusus yang membolehkan perkara-perkara yang pada asalnya dilarang tanpa udzur
seperti tidak menghadap kiblat dan banyak bergerak -dimana perkara-perkara
tersebut tidak boleh dilakukan jika tanpa udzur dengan kesepakatan para ulama-,
atau meninggalkan imam sebelum salam menurut jumhur, demikian pula menyelisihi
perbuatan imam seperti tetap berdirinya shaf belakang ketika imam ruku’ bersama
shaf depan, jika musuh ada di hadapannya. Para ulama berkata: “Perkara-perkara
tersebut akan membatalkan shalat jika dilakukan tanpa udzur. Kalau saja shalat
jama’ah tidak diwajibkan namun hanya merupakan anjuran, niscaya
perbuatan-perbuatan di atas membatalkan shalat, karena meninggalkan sesuatu
yang wajib hanya karena sesuatu yang sunnah. Padahal, sangat mungkin shalat
dilakukan oleh mereka secara sempurna jika mereka masing-masing shalat sendirian
(bergantian). Maka jelaslah shalat berjama’ah merupakan perkara yang wajib”.
Syaikh Muhammad Nashir As-Sa’di
menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan shalat
berjamaah itu hukumnya fardhu ‘ain, hal ini dapat dilihat dari 2 segi:
Pertama, Allah ta’ala memerintahkannya
dalam keadaan yang berat (yakni waktu perang), dan waktu berat ini karena
sedang menghadapi musuh dan berjaga-jaga dari kemungkinan penyerangan terhadap
mereka. Jika Allah ta’ala mewajibkan keadaan yang berat, maka kewajiban pada
keadaan tenang dan aman menjadi lebih wajib lagi.
Kedua, orang yang shalat dalam shalat
khouf (genting) meninggalkan banyak dari syarat-syarat dan kewajiban shalat dan
diperbolehkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan shalat jika
shalatnya dalam keadaan aman. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan penguatan
akan wajibnya shalat berjamaah. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan antara
wajib dan mustahabnya, jika seandainya tidak karena adanya kewajiban (sholat)
jamaah ini, maka tidaklah ditinggalkan perkara-perkara wajib ini
(gerakan-gerakan shalat kondisi normal) dikarenakan untuk menjaga shalat
berjamaah”.
3. Perintah Nabi untuk
mendirikan shalat berjama’ah
Diriwayatkan dari Malik Ibnul Huwairits ,
dia berkata: Aku mendatangi Nabi SAW bersama beberapa orang dari kaumku. Kami
tinggal di sisi beliau selama 20 hari. Sungguh beliau adalah seorang yang sangat
lembut dan penyayang. Ketika beliau melihat kami merindukan keluarga-keluarga
kami, beliau berkata:
“Kembalilah kalian, tinggallah di tengah
mereka, ajarilah mereka dan shalatlah. Jika telah datang waktu shalat, adzanlah
salah seorang dari kalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kalian
mengimami kalian! (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan).
Dalam riwayat lain, bahkan beliau
memerintahkan untuk shalat berjama’ah walaupun jumlah mereka hanya 3 orang. Diriwayatkan
dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Rasulullah SAW berkata:
“Jika mereka bertiga, maka hendaklah
mengimami mereka salah seorang dari mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam
adalah yang paling pandai membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim dalam kitab
al-Masajid wa mawadhi’us shalah)
Ibnul Qayyim berkata: “Sisi pendalilan
hadits ini adalah perintah untuk berjama’ah, dan perintah Rasulullah SAW
menunjukkan wajib hukumnya”.
Yang lebih menunjukkan wajibnya shalat
jama’ah adalah ketika Rasulullah SAW menyuruh orang yang safar untuk shalat
berjama’ah sekalipun hanya berdua .
“Jika kalian berdua bepergian, maka
adzanlah salah seorang kalian kemudian dirikanlah shalat. Hendaklah mengimami
kalian orang yang lebih tua di antara kalian!” (HR. Bukhari dalam kitab
al-Adzan)
4. Larangan keluar dari
masjid setelah adzan
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya
shalat berjama’ah adalah diharamkannya seseorang keluar dari masjid setelah
adzan dikumandangkan, kecuali setelah menunaikan shalat jama’ah. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada
kami:
“Jika kalian berada di masjid, kemudian
diseru untuk shalat (adzan), maka janganlah salah seorang kalian keluar hingga
selesai shalat. (HR. Ahmad; berkata al-Hafidz al-Haitsami: “Rawi-rawi imam
Ahmad adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih (yakni shahih Bukhari
dan Muslim), (Majma’ az-Zawaid, 2/5). Oleh karena itu, Abu Hurairah menganggap
orang yang keluar dari masjid setelah adzan adalah orang yang bermaksiat.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu
Sya’tsa:
Kami duduk-duduk di masjid bersama Abu
Hurairah. Kemudian dikumandangkanlah adzan. Tiba-tiba ada seseorang berdiri dan
berjalan keluar dari masjid, maka Abu Hurairah mengikuti dengan pandangannya,
seraya berkata: “Orang ini telah bermaksiat kepada Abu Qasim (yakni Rasulullah SAW).
(HR. Muslim dalam kitab al-Masajid wa mawadhi’us shalah)
Bahkan Rasulullah SAW menyebut orang yang
keluar dari masjid setelah adzan -tanpa adanya keperluan- sebagai munafik
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang mendengarkan adzan di
masjidku ini, kemudian dia keluar dari sana -kecuali ada keperluan-, kemudian
tidak kembali lagi, kecuali ia munafiq. (HR. Thabrani; al-Haitsami berkata
dalam Majma’ az-Zawaid 2/5: “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Ausath
dan rawi-rawinya adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih”).
Ibnul Mundzir mengomentari hadits Abu
Hurairah di atas: “Kalau saja seseorang diberi kebebasan untuk meninggalkan
shalat berjama’ah atau mendatanginya, maka orang yang meninggalkan sesuatu yang
tidak wajib baginya tidak mungkin dihukumi demikian”. (Al-Ausath fie Sunan wal
Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/135)
Dikisahkan dalam Sunan Darimi, dari
Abdurrahman ibnu Harmalah, bahwa dia menceritakan: Seseorang datang kepada
Sa’id Ibnul Musayyib untuk pamit pergi menunaikan haji atau umrah. Sa’id Ibnul
Musayyib berkata: “Jangan engkau berangkat, sampai engkau shalat berjama’ah!
Karena Nabi menyatakan: “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan, kecuali
munafiq; kecuali orang yang keluar untuk keperluannya kemudian kembali lagi ke
masjid”. Orang itu menjawab: “Tapi teman-temanku menunggu di Harrah (padang
batu di pinggir kota)”. Maka orang itu memaksa keluar. Sedangkan Sa’id Ibnul
Musayyib terus menyesalkan orang itu dan terus menyebut-nyebutnya dengan
kekesalan. Hingga sampailah berita, bahwa orang tersebut jatuh dari untanya dan
patah tulang pahanya (dalam Sunan Darimi, Kitabus Shalah, bab Ta’jilul ‘Uqubah
Man Balaghahu minan Nabi falam yu’adzimhu; Lihat pula Mushannaf Abdul Razaq,
bab ar-Rajulu Yahruju minal masjid).
Apa yang anda ungkapkan itu aslah semuanya pasti benar, tetapi satu hal yang perlu anda tahu, persoalan sholat, amal dan ibadah itu bukanlah jaminan seseorang masuk sorga
BalasHapusAllah Ta'ala berfirman: “Orang-orang yang beriman (Islam) dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (TQS. An-Nisa’ [4] : 122). Jadi, kalau anda mau masuk sorga, anda harus beriman dulu, mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan, mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah, dan beramal shaleh seperti sholat, dll. Syaratnya anda harus beriman dulu, kalau anda tidak beriman, maka sia-sialah semua amalan anda.
HapusAlhamdullilah.....semoga kita senantiasa dalam lindungan ALLAH SWT....Amiiiin
BalasHapusO iya cakrawalalogika boleh tau email FB nya dong biar tambah ilmu nih
BalasHapusMohon maaf saya ga punya akun FB, kalau ada pertanyaan silakan email ke pangkalanbunder@yahoo.com
Hapus