Dalam konsep negara yang berdasarkan pada Syariat Islam, ada struktur yang mirip dengan legislatif atau lembaga perwakilan rakyat pada sistem demokrasi atau negara sekuler. Serupa tapi tak sama. Serupa wajah tapi berbeda isi hati. Pada negara sekuler, lembaga perwakilan rakyatnya berhak untuk membuat perundang-undangan seenak hati meskipun bertentangan dengan hukum Allah SWT, anggota legislatifnya terdiri dari orang-orang yang tidak bertauhid, gemar berbuat zolim, dan hobi berbuat maksiat. Bagaimana dengan lembaga perwakilan rakyat pada negara yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah?
Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah
Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah
Syariat Islam telah mengizinkan umat
Islam untuk memilih wakil mereka dalam menjalankan urusan mereka. Pada
kesempatan Bai’at Aqabah Kedua, Rasulullah SAW mengatakan:
“Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar
mereka menjadi pemimpin bagi kaumnya.”
Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang
menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat, bukan ditunjuk atau ditetapkan
oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka TIDAK BERHAK MENETAPKAN
HUKUM, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi ada pada Allah
SWT. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan ketat dalam
mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majelis Umat
untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan
umat. Tapi, musyawarah bukanlah untuk MENETAPKAN HUKUM, MENENTUKAN YANG HALAL
MENJADI HARAM, atau sebaliknya YANG HARAM MENJADI HALAL.
Dalam Daulah Khilafah tidak boleh ada
musyawarah untuk misalnya menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi,
karena ini merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh
ada musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti
perlu-tidaknya mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri muslim yang
terjajah, atau menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem pendidikan, atau
menyatukan seluruh negeri Islam ke dalam wadah Daulah Khilafah.
Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga
negara non-Muslim bisa menjadi anggota Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa)
jika ada penyimpangan dalam penerapan syariat Islam atau kedzaliman terhadap
diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis Umat yang non-Muslim itu tidak berhak
menyampaikan pendapat mereka tentang syariat yang ditetapkan oleh Khalifah,
karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut pandang Islam yang menjadi
dasar penerapan syariat.
Proses Pengambilan Keputusan
Islam tidak sekadar menjelaskan
prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi juga
memberikan aturan yang rinci. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi ada sejumlah
ketentuan syariat yang mengatur tanah pertanian, riba, mata uang, kepemilikan
umum, dan berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri,
ada sejumlah ketentuan syariat mengenai jihad, perjanjian internasional, dan
hubungan diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan, syariat Islam
mengatur masalah pemilihan, bai’at, pengangkatan para wali (kepala daerah) dan
syarat mengenai pemakzulan penguasa.
Khalifah wajib menerapkan
ketentuan-ketentuan tersebut apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi.
Khalifah tidak dibenarkan bersikap mengikuti kehendak pribadinya. Khalifah juga
tidak membutuhkan dukungan mayoritas anggota Majelis Umat untuk menerapkannya.
Mengenai ketentuan yang mengandung
ikhtilaf, syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi
pendapat yang menurut pertimbangannya mempunyai dalil syara’ yang paling kuat,
dan kemudian menetapkannya sebagai undang-undang negara. Abu Bakar r.a., pada
masa awal kekhilafahannya telah menolak pendapat mayoritas sahabat tentang
hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau memilih mengirimkan
pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar bin Khaththab r.a. tetap
menerapkan hasil ijtihadnya tentang persoalan tanah Irak, walaupun Bilal r.a.
dan para sahabat lainnya tidak setuju. Meski demikian, Khalifah tidak akan
mengadopsi salah satu pendapat yang berkaitan dengan masalah pribadi atau
cabang-cabang akidah. Dalam hal furu’ (cabang), umat dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang berbeda. Jadi,
perbedaan pendapat dalam masalah furu’ dibolehkan ada di tengah
masyarakat.
Dalam perkara-perkara yang dipahami
publik dan bersifat teknis, Khalifah terikat dengan pendapat mayoritas.
Misalnya tentang lokasi yang paling strategis untuk mendirikan universitas di
sebuah daerah. Dalam hal ini Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas. Dalam
musyawarah menjelang Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior
berpendapat sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan
tetapi, mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan
Quraisy di luar kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang kemudian dilaksanakan,
sekalipun ini bertentangan dengan pendapat Rasulullah SAW dan para sahabat
senior.
Mengenai perkara-perkara yang memerlukan
keahlian, maka Khalifah akan bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan
masyarakat awam. Setelah bermusyawarah, Khalifah akan mengadopsi pendapat yang
dianggap memiliki hujjah (argumentasi) paling kuat. Dalam hal ini, pendapat
mayoritas ahli tidak menjadi pertimbangan utama, karena pendapat yang memiliki
argumentasi paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok mayoritas. Misalnya
dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah dengan para
ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan membangun pembangkit
listrik dengan tenaga nuklir, tenaga surya, atau melakukan konversi dari energi
bahan bakar minyak ke gas. Model pengambilan keputusan seperti ini pernah
dilakukan oleh Rasulullah menjelang perang Badar, dimana Rasulullah SAW
akhirnya memindahkan camp pasukan Islam setelah melakukan musyawarah
dengan Hubab bin Mundzir r.a., seorang sahabat yang dianggap paling mengetahui
daerah itu.
Khilafah akan Mengakhiri
Penjajahan
Fakta menunjukkan bahwa sistem
pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem sekuler yang diwariskan oleh
penjajah Belanda, kemudian dilanjutkan dan dipertahankan oleh AS. Maka wajar
bila kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat Indonesia
melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia saat ini
memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kolonialis
untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia.
Dengan hak legislasi ada di tangan wakil
rakyat, maka negara-negara kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada
wakil-wakil rakyat yang dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa
mempengaruhi produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan oleh wakil
rakyat. Hasilnya, lahirlah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan
penjajah. Lihatlah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan yang lainnya.
Di dalam Daulah Khilafah, seluruh hukum
dan perundang-undangan yang akan diterapkan harus berlandaskan dalil-dalil
syara’. Karena itu, Khalifah tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariat
dan peraturan yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan metode ini,
kedaulatan benar-benar berada di tangan syariat, bukan di tangan wakil rakyat.
Dengan cara ini, kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk memanfaatkan
proses legislasi demi kepentingan mereka. Maka, pintu penjajahan telah tertutup
sejak dini.
Sistem pemerintahan dan hukum Indonesia
saat ini membuat penguasa tidak mudah dimintai pertanggungjawaban. Hanya dalam
Khilafah, kontrol yang ketat bisa dilakukan.
Sesuai Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20
UUD 1945 yang telah mengalami amandemen IV (Tahun 2003), Presiden tidak dapat
diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Mahkamah
Konstitusi memutus pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan oleh Presiden.
Sementara, Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-undang apa pun,
diantaranya undang-undang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses guna
melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh mutakhir adalah
Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara yang di dalamnya terdapat
ketentuan yang dapat membuat sejumlah informasi penting yang menyangkut rakyat
banyak tidak dibuka untuk publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman
Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan
ini tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan
Likuiditas guna menghadapi krisis finansial global. Ketentuan dan mekanisme
dibuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya rakyat tidak bisa melakukan
kontrol dan koreksi terhadap pemerintah.
Dalam Daulah Khilafah, kepala negara atau
Khalifah bukanlah seorang raja atau seorang diktator. Khalifah tidak dapat
mengganti atau mengubah syariat Islam sesuka hatinya. Dalam Daulah Khilafah,
upaya meminta pertanggungjawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi merupakan
kewajiban dari setiap warga, karena amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah SAW. bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau
Allah akan menurunkan hukuman atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya,
maka Dia tidak mengabulkan doamu.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang,
kelompok, anggota Majelis Umat atau qadhi Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan
mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah
jika terbukti memerintah bukan dengan syariat Islam, atau jika bersikap dzalim
kepada rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk menghilangkan
kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan
pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh
Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhentikannya.
Mahkamah Madzalim terdiri dari
orang-orang shaleh yang benar-benar terbukti keshalehannya dan orang-orang
berilmu yang sangat mumpuni ilmu agamanya. Bukan orang-orang kafir, musyrik,
munafik, atau orang-orang yang telah jelas-jelas selalu berbuat maksiat dan
kezoliman.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar