Pada 1 Oktober ini berbagai instansi
pemerintahan serentak menggelar upacara memperingati hari kesaktian Pancasila.
Pancasila yang sejak 1965 di”saktikan” oleh Soeharto sampai saat ini pun masih
disakralkan oleh banyak pihak sebagai ideologi yang paling tepat, paling cocok,
dan paling pas buat bangsa Indonesia. Karena kesaktiannya itulah banyak juga
orang yang kemudian meyakini—karena dipaksa meyakini—bahwa Pancasila adalah
harga mati bagi NKRI. Kali ini kita akan mengupas tuntas mengenai
makna sebenarnya dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui pembahasan
ini semoga akan terwujud generasi-generasi penerus bangsa Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai tauhid.
Para pembesar sekaligus mantan penguasa
negeri Indonesia sukses dalam kreasi ideologinya. Soekarno sukses menciptakan ideologi
baru yang digadang-gadang lebih baik dari ideologi yang disebarluaskan oleh
Muhammad SAW sejak 1400 tahun yang lalu. Soeharto sebagai penerusnya juga
berhasil menancapkan gagasan ke dalam pikiran bawah sadar masyarakat Indonesia bahwa
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa
Indonesia yang majemuk. Tradisi ciptaan Soekarno sampai saat ini masih
dipertahankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang belum juga tercerahkan bahwa ideologi
yang terbaik buat bangsanya adalah Islam.
Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila
terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena
perjalanan sejarah dan kompleksitas bangsa Indonesia seperti keragaman suku,
agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan, budaya, serta warna
kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi dipaksa untuk dipersatukan dalam
bingkai Pancasila.
Bagi kaum
nasionalis yang lebih mengedepankan akal dangkal ketimbang keteguhan iman dan
tauhid, konsep Pancasila sebagai dasar negara dianggap sudah final alias harga
mati, ide dan rangkaian proses menggugat Pancasila sebagai ideologi tunggal hanya
akan membawa ketidakpastian bagi bangsa Indonesia. Dalam asumsi mereka yang
terdoktrin bahwa Pancasila adalah harga mati buat Indonesia, bukan tidak
mungkin akan timbul chaos (kekacauan) yang memecah-belah persatuan dan
kesatuan bangsa, hingga akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara
kecil yang berbasis agama atau suku jika di Indonesia ditegakkan Syariat Islam.
Untuk menghindari kegalauan itu, mereka lebih memilih untuk membuat hukum baru
atau mencampuradukkan penerapan hukum-hukum agama dengan hukum-hukum adat dalam
sistem hukum negara. Pancasila diperjuangkan mati-matian untuk menjadi pengikat
agama-agama dan suku-suku.
Penyimpangan Makna
Kalau kita mau
jujur, penyimpangan Pancasila dari Islam sebenarnya terjadi pada level logika,
pemikiran, dan penafsiran. Khususnya pada Sila Pertama. Sila pertama Pancasila
yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai adanya keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di antara
makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah
manusia. Sebagai Sang Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas,
sedangkan selain-Nya adalah terbatas.
Negara
Indonesia yang didirikan
atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
berkonsekuensi untuk menjamin setiap warga negara dan penduduknya memeluk
agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, seperti pengertian yang
terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ke-tiga yang menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa .... “. Dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa the founding fathers mencita-citakan negara Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keTuhanan, nilai ketauhidan.
Undang-Undang
Dasar 1945 yang dipercaya sebagai landasan konstitusional NKRI menegaskan dalam
Pasal 29 Ayat 1, “ Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perhatikan lagi kalimat singkat
tersebut. Tak pernah ada kata “Pancasila” di sana sejak UUD 1945 itu diciptakan
hingga detik ini. Dengan demikian,
jelaslah bahwa para pendiri bangsa Indonesia menginginkan tegaknya tauhid di negara
ini. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan negara berdasarkan atas
Pancasila. Di dalam bangsa Indonesia tidak boleh ada
pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kaum nasionalis,
kapitalis, dan sosialis seharusnya menghindari sikap atau perbuatan
yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama yang satu, anti hukum yang
satu, anti ideologi yang satu, Islam. Setiap generasi penerus bangsa
seharusnya mengkaji, memahami, dan menerapkan konsep tauhid dalam sila
pertama Pancasila.
Sila pertama dari
Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak
lain menggunakan istilah dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Pali. Banyak di antara
kita yang salah paham mendefinisikan makna dari sila pertama ini. Baik dari
sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan yang jumlahnya satu.
Jika kita membahasnya dalam bahasa Sansekerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha
Esa bukanlah Tuhan yang bermakna satu. Ketuhanan berasal dari kata tuhan yang
diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran –an. Penggunaan awalan ke- dan
akhiran –an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk
makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran –an dapat memberi makna perubahan
menjadi antara lain: mengalami hal….sifat-sifat…
Kata ketuhanan
yang berasal dari kata “Tuhan” yang diberi imbuhan ke- dan –an bermakna
sifat-sifat Tuhan. Dengan kata lain ketuhanan berarti sifat-sifat Tuhan atau
sifat-sifat yang berhubungan dengan Tuhan. Kata Maha berasal dari bahasa Sanskerta
atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk).
Kata Maha bukan berarti sangat. Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta
atau Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa”
berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang
mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this-
Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa
Sansekerta atau bahasa Pali adalah kata
“eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu,
maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka” bukan kata “esa”.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa arti dari Ketuhanan Yang
Maha Esa bukan hanya berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu entitas
yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu, tetapi sesungguhnya Ketuhanan Yang
Maha Esa berarti sifat-sifat luhur atau mulia Tuhan yang mutlak ada. Jadi, yang
ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau
mulia, bukan Tuhannya.
hentikan berpikir secara logika, soalnya saat ini kita bukan sedang berada di Planet Vulcan, kita di bumi, kita tidak sedang berhubungan dengan mahkluk-mahkluk logika macem Kapten Spock, kita sedang dikelilingin oleh mahkluk yang penuh prasangka skaligus termotivasi sama rasa bangga dan sombong.
BalasHapussebaiknya seimbanglah Bung Damien,, antara logika dan iman,, agar otak kiri dan otak kanan kita aktif dua2nya..
BalasHapusBung, berdasarkan yg sy mengerti dari artikel bung, berarti dalam pancasila tdk ada 1 pun yg menjurus kepada syariat islam, lantas mengapa dalam merumuskan pancasila bung karno tdk menyelipkan 1 atau beberapa dari syariat islam, pdhal yg sy tau bung karno kan muslim
BalasHapusSebenarnya teks yang menyebutkan substansi syariat Islam tercantum dalam naskah asli Piagam Jakarta. Bung Karno memang muslim, tapi masih nasionalis, jadi masih kurang totalitas ke-Islaman-nya. Wallahu a'lam.
BalasHapus