Sabtu, 04 Januari 2014

Pria Muslim Wajib Sholat Berjamaah (2)

Melanjutkan bahasan yang lalu, kali ini kita akan meninjau masalah wajibnya sholat berjamaah di masjid bagi setiap pria muslim setelah mendengar azan dikumandangkan dari sisi keringananan karena beberapa udzur. Selain itu, kita juga akan diingatkan kembali mengenai risiko yang akan ditanggung jika meninggalkan sholat berjamaah seperti mendapat status sebagai munafik dan terancam mendapat hukuman dari Allah SWT. 

5. Tidak ada keringanan bagi orang yang buta

Abdullah bin Umi Maktum (seorang sahabat Rasulullah SAW) pernah meminta keringanan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid dan mengemukakan berbagai macam udzurnya.

a. Mata buta dan tidak ada penuntun
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa seorang yang buta datang menemui Rasulullah seraya berkata:
    “Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki penuntun yang bisa menuntunku ke masjid”. Orang itu meminta keringanan kepada Rasulullah. Maka Rasulullah pun mengizinkannya. Namun, ketika orang itu berpaling, Rasulullah memanggilnya seraya berkata: 
     “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Shahih Muslim dalam Kitabul Masaajid).

Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak memberikan udzur bagi orang yang buta tersebut, jika ia masih mendengar panggilan adzan.

Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa dapat mendengar adzan adalah ukuran jarak rumahnya dari masjid. Jadi, selama dia masih mendengar adzan, dia masih dianggap dekat dan tidak ada keringanan baginya.

b. Rumah Jauh dari Masjid 
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum bahwa dia meminta keringanan kepada Nabi SAW dengan berkata:

"Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku. Apakah aku shalat di rumahku?" 
      Rasulullah SAW bertanya: ”Apakah engkau mendengar adzan?” 
“Ya”, jawab Abdullah bin Umi Maktum. 
   Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau begitu aku tidak mendapatkan rukhshah untukmu”. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus Shalah, bab at-Tasydid fii tarki ash-shalah, no. 548)

Dalam hadits ini terdapat alasan yang ketiga di samping alasan buta dan tidak memiliki penuntun yaitu jarak rumahnya ke masjid jauh.  Ibnu Khuzaimah ketika menukil hadits ini memberi judul babnya “Bab perintah bagi orang yang buta untuk mengikuti shalat jama’ah walaupun rumahnya jauh dari masjid, tidak ada penuntunnya yang mau menuntun ke masjid”: “Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah adalah faridlah (wajib hukumnya)”.

c. Di antara rumah dengan masjid melewati kebun-kebun kurma dan semak belukar
Dalam riwayat lain disebutkan di antara rumah Abdullah ibnu Umi Maktum dan masjid terdapat pepohonan kurma dan semak belukar. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia berkata kepada Rasulullah:

"Wahai Rasulullah SAW, antara rumahku dengan masjid banyak pohon kurma dan semak belukar, dan tidak ada orang yang dapat menuntunku. Apakah boleh bagiku untuk shalat di rumahku?” 
     Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mendengar iqamah?” 
Ia menjawab: “Ya”. 
     Rasulullah lalu bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad)

d. Banyak binatang buas dan berbisa di sekitar rumah
Dalam hadits lain masih ada udzur lainnya pada Abdullah bin Umi Maktum, namun tetap tidak menjadikannya mendapatkan keringanan yaitu di antara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia mengatakan:

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak binatang-binatang buas dan berbahaya. 
     Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud bab Tasydid fi Tarqil Jama’ah, no. 548; Hakim dalam Mustadrak kitab ash-shalah, dishahihkan oleh Dzahabi).

Ibnu Khuzaimah menyebutkan hadits ini dalam kitab shahihnya dengan judul “Bab perintah bagi orang yang buta untuk menghadiri shalat jama’ah walaupun ia khawatir terhadap binatang-binatang berbisa/buas jika menghadiri jama’ah”. (Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab al-Imamah fi shalah 2/367).

e. Tua dan sudah renta
Udzur lainnya bagi Abdullah bin Umi Maktum adalah umur beliau. Di samping beliau buta, ia adalah seorang yang sudah tua renta. Sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Umamah. Ia berkata: Ibnu Umi Maktum datang -ia adalah seorang buta yang turun tentangnya ayat ‘Abasa wa tawalla an ja’ahul a’ma-, ia adalah seorang dari Quraisy datang kepada Rasulullah SAW dan berkata:

"Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai jaminan untukmu. Sungguh aku –sebagaimana yang engkau lihat—adalah orang yang sudah tua, rapuh tulangku (renta), hilang pandanganku (buta), dan aku memiliki penuntun yang tidak cocok denganku, apakah engkau memberikan keringanan untukku agar aku shalat di rumah?” 
     Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di dalamnya?” 
Ia menjawab: “Ya”. 
    Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah, niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan kakinya”. (Dinukil dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)

Ibnul Mundzir berkata ketika memberi judul hadits-hadits ini dengan “Dzikrul Ijab Hudzuril Jama’ah ‘Alal ‘Umyan wain Ba’udat Manaziluhum ‘Anil Masjid wa Yadullu Dzalika ‘Ala anna Zuhudal Jama’ah Fardlu la Nadbun” (“Penyebutan tentang wajibnya menghadiri jama’ah atas orang yang buta walapun jauh rumahnya dari masjid. Yang demikian menunjukkan bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah wajib, bukan anjuran)”. (al-Ausath fi Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)

Beliau juga berkata: “Jika orang yang buta tidak mendapatkan udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah, maka orang yang memiliki penglihatan normal lebih-lebih lagi. Tidak ada keringanan sama sekali baginya. (al-Ausath fi Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)

Imam al-Khathabi berkata: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah wajib. Kalau saja shalat jama’ah itu hanya anjuran, maka yang lebih pantas untuk meninggalkannya adalah orang yang memiliki udzur dan kelemahan atau orang yang seperti Abdullah bin Umi Maktum. (Ma’alimus Sunan, 1/160).

Dari hadits-hadits di atas, kita melihat ketegasan hukum wajibnya shalat berjama’ah. Kita melihat udzur-udzur yang ada pada Abdullah bin Umi Maktum sangat banyak, seperti buta, tua umurnya (renta), tidak ada penuntun, jauhnya rumah dari masjid, banyaknya pepohonan dan semak belukar, dan banyaknya binatang buas/berbisa. Namun, Rasulullah SAW tetap tidak memberikan keringanan untuknya meninggalkan shalat jama’ah.

Tidak mungkin bagi seorang Rasul yang mulia dan sangat sayang kepada umatnya membiarkan seorang yang memiliki udzur-udzur di atas tanpa mendapatkan keringanan. Kecuali kalau perkara itu adalah suatu kewajiban yang telah Allah SWT tetapkan.

Maka dengan alasan apalagikah kaum muslimin meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan tidak buta, kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?

(Diringkas dari kitab Ahammiyyatus Shalatul Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 42 – 51)


6. Tidak ada shalat bagi yang tidak berjama’ah secara sengaja
Yang lebih menegaskan wajibnya shalat berjama’ah adalah hadits dari Rasulullah yang mengancam orang yang mendengarkan adzan tapi tidak mendatanginya dengan sengaja tanpa udzur. Beliau menyatakan bahwa tidak ada shalat baginya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:

Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. (HR. Ibnu Majah dalam Abwabul Masajid wal jamaah, bab, Taghlidh fi Takhalluf ‘Anil Jama’ah, No. 777; Ibnul Mundzir, Lihat alAushath fis sunani wal ijma’ wal Ikhtilaf, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq ‘Ala Taariki Syuhudul Isya’ was Subhi Jama’ah, no. 1898;Ibnu Hibban, lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibnu Hibban bab Fardhul Jama’ah bab Dzikrul Khabar ad-Daall Anna Hadzal Amru Hatmun La Nadbun, no. 2064 dan Hakim dalam Mustadrak, Kitabus Shalah 1/245)

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’. Beliau berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani dalam Mu’jamul Kabir. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas Oleh Abu Musa al-Madini dalam al-Lathaifu Min ‘Ulumil Ma’arif, Hasan bin Sufyan dalam al-Arba’in, Daruquthni, Hakim dan Baihaqi dari banyak jalan, dari Hasyim dari ‘Adi. Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat dua Syaikh (Bukhari dan Muslim)”. Pendapat ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Dan hadits ini memang seperti apa yang dikatakan oleh keduanya”. (Irwa’ul Ghalil, 2/337).

Diriwayatkan pula ucapan-ucapan sejumlah para shahabat yang menyatakan demikian. Imam Tirmidzi berkata: “Sungguh telah diriwayatkan bukan hanya dari seorang shahabat Nabi saja bahwa mereka berkata: “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya”. (Jami’ Tirmidzi dengan Tuhfatul Ahwadzi, 1/188)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid”. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, siapa tetangga masjid?” Beliau menjawab: “Tetangga masjid adalah orang yang mendengarkan adzan”. (HR. Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida, no. 1915, 1/497-498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/ 345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1907, 4/137; lihat al-Muhalla, 4/274-275)

Ibnu Mas’ud berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1902, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275)

Ibnu Abdullah bin Abbas juga berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1899, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275; Abdurrazzak dalam Mushanaf, kitabus shalah, bab Man sami’a Nida’ no. 1914, 1/497; al-Baghawi dalam Syarkhus Sunnah, no. 795 juz 3 /348, dikatakan oleh pentahqiq kitab tersebut: “Sanad hadits ini shahih)

Abu Musa al-’Asyari berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya. (Riwayat Ibnul Mundzir dalam al-Ausath kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq, no. 1900, 4/136; lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 4/274)

Kalimat ‘Laa shalata’ sering dipahami oleh ahlul fiqh dengan “tidak sah”. Walaupun dalam hadits ini ada perbedaan di antara ulama, apakah “tidak sah” atau “tidak sempurna”. Namun, tentunya hadits ini cukup sebagai dalil yang qath’i tentang wajibnya shalat jama’ah.


7. Meninggalkan shalat jama’ah adalah ciri-ciri kemunafikan

Disebutkan dalam banyak riwayat bahwa meninggalkan shalat jama’ah merupakan salah satu dari ciri-ciri kemunafikan. Ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah perkara yang wajib. Karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib adalah tidak berdosa, maka tidak mungkin disebutkan sebagai tanda kemunafikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Tidak ada shalat yang lebih berat bagi seorang munafiq melainkan shalat fajar dan shalat Isya’. Kalau saja mereka mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. (HR. Bukhari, Kitabul Adzan bab Fadllul Isya fil Jama’ah, no. 657, 2/141)

Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya dengan memberi judul bab Dzikrul Bayan bi anna Hataini shalataini atsqalu shalah ‘alal Munafiqiin (Keterangan bahwa 2 shalat ini adalah yang paling berat bagi munafikin); lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban, kitabus shalah, 5/ 454.

Hadits semakna yang juga mensifati seorang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan kemunafikan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Ubay bin Ka’ab. Ia berkata: “Pada suatu hari ketika kami shalat shubuh, Rasulullah SAW bertanya: “Apakah fulan hadir?”. Mereka menjawab: “Tidak”. (Kemudian Beliau SAW menanyakan orang lain):”Apakah si fulan hadir?” Mereka juga menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya dua shalat ini adalah shalat yang paling berat atas orang munafiq. Kalau saja kalian tahu apa yang ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walau pun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan, kitabus shalat, bab Fadllu shalatil jama’ah, no. 550, 2/259; al-Hafidz al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim. Telah ditegaskan oleh Yahya Ibnu Ma’in dan adz-Dzuhali bahwa hadits ini shahih; lihat Targhib wa tarhib, 1/264; dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahih Targhib wa tarhib, 1/238; Shahih Sunan Ibnu Dawud, 1/111 dan Shahih Sunan an-Nasa’i, 1/183)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi bersabda:

“Kalau saja seseorang dipanggil untuk makan sop tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya. Sedangkan jika mereka dipanggil untuk shalat berjama’ah, mereka tidak mendatanginya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat jama’ah bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan adzan, tapi tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. Sungguh tidaklah meninggalkan shalat jama’ah, kecuali munafiq.” (Berkata al-Haitsami: “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Aushath. Para perawi-perawi semuanya tsiqah”. Lihat Majma’uz Zawaid kitabus shalah bab tasydid fi tarkil jama’ah, 2/43)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abi Umair bin Anas: menyampaikan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar, mereka berkata: bersabda Rasulullah:

Tidak akan menghadiri keduanya seorang munafiq, yakni shalat Isya’ dan shalat Fajar. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, kitabus shalawat, bab Takhalufil Isya’ wal Fajr. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: “Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Sa’id bin Manshur dengan sanad shahih dari Abi Umair bin Anas. Lihat Fathul Baari, 2/127)

Demikian pula dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Barangsiapa yang suka untuk bertemu Allah kelak dalam keadaan selamat, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut ketika dipanggil kepadanya, karena sesungguhnya Allah mensyariatkan untuk nabi kalian ajaran petunjuk. Dan sungguh shalat-shalat itu termasuk ajaran-ajaran petunjuk Rasulullah . Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian seperti apa yang dilakukan oleh si mutakhallif ini di rumahnya, maka berarti kalian telah meninggalkan ajaran nabi kalian. Jika kalian meninggalkan ajaran nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. ….. Sungguh kami melihat pada diri-diri kami waktu itu, tidak ada yang meninggalkan shalat jama’ah kecuali seorang munafiq yang sudah dikenal kemunafikannya.” (HR. Muslim, kitabul Masaajid, bab Shalatul jama’ah min sunanil Huda, no. 654, 1/453)

Ibnu Umar berkata:
Jika kami kehilangan seseorang dalam shalat Isya’ dan shalat fajar, maka kami berburuk sangka kepadanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan al-Bazzar; lihat Kasyful Astar. Berkata al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan perawi-perawinya terpercaya”. (Majma’uz Zawaid 2/40))

Atha’ bin Abi Rabbah –seorang ulama dari kalangan tabi’in—berkata:
Kami mendengar bahwasanya tidak meninggalkan shalat jama’ah kecuali seorang munafiq. (Lihat al-Muhalla, Ibnu Hazm, masalah ke-485, 4/276). (Diambil dari kitab Ahammiyyatus Shalatil Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 51 -56).


8. Ancaman kemurkaan Allah bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan sengaja tanpa udzur

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya mendengar Nabi SAW bersabda:

“Hendaklah kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat jama’ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka. Kemudian jadilah mereka orang-orang yang lalai.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan Abwabul Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 778, 1/142-143; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132)

Sudah dimaklumi bersama bahwa ancaman Nabi SAW terhadap suatu perbuatan menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Maka Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang haramnya meninggalkan shalat jama’ah. Lebih tegas lagi apa yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah terancam kejelekan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam Mushanafnya dari Aisyah ia berkata:

“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian tidak mendatanginya, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan tidak dikehendaki kebaikan padanya.” (HR. Abdurrazzak dalam Mushannaf kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida’ no. 1917, 1/498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1903, 4/ 137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)

Atsar di atas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan sholat berjama’ah tidak dikehendaki kebaikan padanya oleh Allah SWT. Demikian juga apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a.:

“Kalau telinga anak Adam dipenuhi timah panas yang meleleh, itu lebih baik daripada ia mendengarkan adzan namun tidak mendatanginya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1905, 4/137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274).

Artikel Terkait Fiqih

4 komentar:

  1. klo hukum buat wanitanya gimana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Janganlah kamu larang isteri-isteri mu (pergi shalat ke) masjid, namun (shalat) di rumah mereka lebih baik.” (Hadits Shohih Ibnu Khuzaimah)

      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
      “Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)

      Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)

      Dengan dalil2 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bagi wanita muslimah, tidak wajib sholat berjamaah di masjid.

      Hapus
  2. Pertanyaan saya berapa jauhkah tetangga mesjid itu?
    Atau berapa jauhkan suara azan itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak penting seberapa jauhnya, yang penting adalah terdengar atau tidaknya suara azan, kalau terdengar maka pria muslim wajib sholat berjamaa'ah di masjid.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...