Melanjutkan bahasan yang lalu, kali ini
kita akan meninjau masalah wajibnya sholat berjamaah di masjid bagi setiap pria
muslim setelah mendengar azan dikumandangkan dari sisi keringananan karena
beberapa udzur. Selain itu, kita juga akan diingatkan kembali mengenai risiko
yang akan ditanggung jika meninggalkan sholat berjamaah seperti mendapat status
sebagai munafik dan terancam mendapat hukuman dari Allah SWT.
Abdullah bin Umi Maktum (seorang sahabat Rasulullah SAW) pernah meminta
keringanan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid dan mengemukakan berbagai
macam udzurnya.
a. Mata buta dan tidak ada penuntun
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa seorang yang buta datang menemui Rasulullah seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki penuntun yang bisa menuntunku ke masjid”. Orang itu meminta keringanan kepada Rasulullah. Maka Rasulullah pun mengizinkannya. Namun, ketika orang itu berpaling, Rasulullah memanggilnya seraya berkata:
“Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Shahih Muslim dalam Kitabul Masaajid).
Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak memberikan udzur bagi orang yang buta tersebut, jika ia masih mendengar panggilan adzan.
Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa dapat mendengar adzan adalah ukuran jarak rumahnya dari masjid. Jadi, selama dia masih mendengar adzan, dia masih dianggap dekat dan tidak ada keringanan baginya.
b. Rumah Jauh dari Masjid
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum bahwa dia meminta keringanan kepada Nabi SAW dengan berkata:
"Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku. Apakah aku shalat di rumahku?"
Rasulullah SAW bertanya: ”Apakah engkau mendengar adzan?”
“Ya”, jawab Abdullah bin Umi Maktum.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau begitu aku tidak mendapatkan rukhshah untukmu”. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus Shalah, bab at-Tasydid fii tarki ash-shalah, no. 548)
Dalam hadits ini terdapat alasan yang ketiga di samping alasan buta dan tidak memiliki penuntun yaitu jarak rumahnya ke masjid jauh. Ibnu Khuzaimah ketika menukil hadits ini memberi judul babnya “Bab perintah bagi orang yang buta untuk mengikuti shalat jama’ah walaupun rumahnya jauh dari masjid, tidak ada penuntunnya yang mau menuntun ke masjid”: “Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah adalah faridlah (wajib hukumnya)”.
c. Di antara rumah dengan masjid melewati kebun-kebun kurma dan semak belukar
Dalam riwayat lain disebutkan di antara rumah Abdullah ibnu Umi
Maktum dan masjid terdapat pepohonan kurma dan semak belukar. Hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa
ia berkata kepada Rasulullah:
"Wahai
Rasulullah SAW, antara rumahku dengan masjid banyak pohon kurma dan semak
belukar, dan tidak ada orang yang dapat menuntunku. Apakah boleh bagiku untuk
shalat di rumahku?”
Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mendengar iqamah?”
Ia menjawab: “Ya”.
Rasulullah lalu bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad)
Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mendengar iqamah?”
Ia menjawab: “Ya”.
Rasulullah lalu bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad)
d. Banyak binatang buas dan berbisa di sekitar rumah
Dalam hadits lain masih ada udzur lainnya pada Abdullah bin Umi Maktum, namun tetap tidak menjadikannya mendapatkan keringanan yaitu di antara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia mengatakan:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak binatang-binatang buas dan berbahaya.
Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud bab Tasydid fi Tarqil Jama’ah, no. 548; Hakim dalam Mustadrak kitab ash-shalah, dishahihkan oleh Dzahabi).
Ibnu Khuzaimah menyebutkan hadits ini dalam kitab shahihnya dengan judul “Bab perintah bagi orang yang buta untuk menghadiri shalat jama’ah walaupun ia khawatir terhadap binatang-binatang berbisa/buas jika menghadiri jama’ah”. (Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab al-Imamah fi shalah 2/367).
e. Tua dan sudah renta
Udzur lainnya bagi Abdullah bin Umi Maktum adalah umur beliau. Di samping
beliau buta, ia adalah seorang yang sudah tua renta. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Umamah. Ia berkata: Ibnu Umi Maktum datang
-ia adalah seorang buta yang turun tentangnya ayat ‘Abasa wa tawalla an ja’ahul
a’ma-, ia adalah seorang dari Quraisy datang kepada Rasulullah SAW dan berkata:
"Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai jaminan untukmu. Sungguh aku
–sebagaimana yang engkau lihat—adalah orang yang sudah tua, rapuh tulangku
(renta), hilang pandanganku (buta), dan aku memiliki penuntun yang tidak cocok
denganku, apakah engkau memberikan keringanan untukku agar aku shalat di rumah?”
Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di dalamnya?”
Ia menjawab: “Ya”.
Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah, niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan kakinya”. (Dinukil dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)
Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di dalamnya?”
Ia menjawab: “Ya”.
Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah, niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan kakinya”. (Dinukil dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)
Ibnul Mundzir berkata ketika memberi judul hadits-hadits ini dengan
“Dzikrul Ijab Hudzuril Jama’ah ‘Alal ‘Umyan wain Ba’udat Manaziluhum ‘Anil
Masjid wa Yadullu Dzalika ‘Ala anna Zuhudal Jama’ah Fardlu la Nadbun” (“Penyebutan
tentang wajibnya menghadiri jama’ah atas orang yang buta walapun jauh rumahnya
dari masjid. Yang demikian menunjukkan bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah
wajib, bukan anjuran)”. (al-Ausath fi Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)
Beliau juga berkata: “Jika orang yang buta tidak mendapatkan udzur untuk
meninggalkan shalat jama’ah, maka orang yang memiliki penglihatan normal
lebih-lebih lagi. Tidak ada keringanan sama sekali baginya. (al-Ausath fi Sunan
wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)
Imam al-Khathabi
berkata: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah
wajib. Kalau saja shalat jama’ah itu hanya anjuran, maka yang lebih pantas
untuk meninggalkannya adalah orang yang memiliki udzur dan kelemahan atau orang
yang seperti Abdullah bin Umi Maktum. (Ma’alimus Sunan, 1/160).
Dari hadits-hadits di atas, kita melihat
ketegasan hukum wajibnya shalat berjama’ah. Kita melihat udzur-udzur yang ada
pada Abdullah bin Umi Maktum sangat banyak, seperti buta, tua umurnya (renta),
tidak ada penuntun, jauhnya rumah dari masjid, banyaknya pepohonan dan semak
belukar, dan banyaknya binatang buas/berbisa. Namun, Rasulullah SAW tetap tidak
memberikan keringanan untuknya meninggalkan shalat jama’ah.
Tidak mungkin bagi seorang Rasul yang
mulia dan sangat sayang kepada umatnya membiarkan seorang yang memiliki
udzur-udzur di atas tanpa mendapatkan keringanan. Kecuali kalau perkara itu
adalah suatu kewajiban yang telah Allah SWT tetapkan.
Maka dengan alasan apalagikah kaum
muslimin meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan
tidak buta, kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya
dengan masjid?
(Diringkas dari kitab Ahammiyyatus
Shalatul Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 42 – 51)
6. Tidak ada shalat bagi yang
tidak berjama’ah secara sengaja
Yang lebih menegaskan wajibnya shalat
berjama’ah adalah hadits dari Rasulullah yang mengancam orang yang mendengarkan
adzan tapi tidak mendatanginya dengan sengaja tanpa udzur. Beliau menyatakan
bahwa tidak ada shalat baginya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda:
Barangsiapa yang mendengar panggilan
adzan, tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena
udzur. (HR. Ibnu Majah dalam Abwabul Masajid wal jamaah, bab, Taghlidh fi
Takhalluf ‘Anil Jama’ah, No. 777; Ibnul Mundzir, Lihat alAushath fis sunani wal
ijma’ wal Ikhtilaf, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq ‘Ala Taariki
Syuhudul Isya’ was Subhi Jama’ah, no. 1898;Ibnu Hibban, lihat al-Ihsan fi
Taqrib Shahih ibnu Hibban bab Fardhul Jama’ah bab Dzikrul Khabar ad-Daall Anna
Hadzal Amru Hatmun La Nadbun, no. 2064 dan Hakim dalam Mustadrak, Kitabus
Shalah 1/245)
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam al-Irwa’. Beliau berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan Thabrani dalam Mu’jamul Kabir. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas Oleh
Abu Musa al-Madini dalam al-Lathaifu Min ‘Ulumil Ma’arif, Hasan bin Sufyan
dalam al-Arba’in, Daruquthni, Hakim dan Baihaqi dari banyak jalan, dari Hasyim
dari ‘Adi. Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat dua Syaikh
(Bukhari dan Muslim)”. Pendapat ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Dan
hadits ini memang seperti apa yang dikatakan oleh keduanya”. (Irwa’ul Ghalil,
2/337).
Diriwayatkan pula ucapan-ucapan sejumlah
para shahabat yang menyatakan demikian. Imam Tirmidzi berkata: “Sungguh telah
diriwayatkan bukan hanya dari seorang shahabat Nabi saja bahwa mereka berkata:
“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka
tidak ada shalat baginya”. (Jami’ Tirmidzi dengan Tuhfatul Ahwadzi, 1/188)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah
berkata:
“Tidak ada shalat bagi tetangga masjid,
kecuali di masjid”. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, siapa
tetangga masjid?” Beliau menjawab: “Tetangga masjid adalah orang yang
mendengarkan adzan”. (HR. Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, kitabus shalah, bab
Man Sami’a Nida, no. 1915, 1/497-498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Kitabus
shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/ 345; Ibnul mundzir
dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1907,
4/137; lihat al-Muhalla, 4/274-275)
Ibnu Mas’ud berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan,
kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf Kitabus shalawat, bab Man Qaala
Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul
Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1902, 4/136; lihat al-Muhalla,
4/275)
Ibnu Abdullah bin Abbas juga berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan,
kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”.
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala
Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul
Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1899, 4/136; lihat al-Muhalla,
4/275; Abdurrazzak dalam Mushanaf, kitabus shalah, bab Man sami’a Nida’ no.
1914, 1/497; al-Baghawi dalam Syarkhus Sunnah, no. 795 juz 3 /348, dikatakan
oleh pentahqiq kitab tersebut: “Sanad hadits ini shahih)
Abu Musa al-’Asyari berkata:
Barangsiapa yang mendengarkan adzan,
kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.
(Riwayat Ibnul Mundzir dalam al-Ausath kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu
an-Nifaq, no. 1900, 4/136; lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 4/274)
Kalimat ‘Laa shalata’ sering dipahami
oleh ahlul fiqh dengan “tidak sah”. Walaupun dalam hadits ini ada perbedaan di antara
ulama, apakah “tidak sah” atau “tidak sempurna”. Namun, tentunya hadits ini
cukup sebagai dalil yang qath’i tentang wajibnya shalat jama’ah.
7. Meninggalkan shalat
jama’ah adalah ciri-ciri kemunafikan
Disebutkan dalam banyak riwayat bahwa
meninggalkan shalat jama’ah merupakan salah satu dari ciri-ciri kemunafikan.
Ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah perkara yang wajib. Karena
meninggalkan sesuatu yang tidak wajib adalah tidak berdosa, maka tidak mungkin
disebutkan sebagai tanda kemunafikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
Tidak ada shalat yang lebih berat bagi
seorang munafiq melainkan shalat fajar dan shalat Isya’. Kalau saja mereka
mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya
walaupun dengan merangkak. (HR. Bukhari, Kitabul Adzan bab Fadllul Isya fil
Jama’ah, no. 657, 2/141)
Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits ini
dalam Shahihnya dengan memberi judul bab Dzikrul Bayan bi anna Hataini
shalataini atsqalu shalah ‘alal Munafiqiin (Keterangan bahwa 2 shalat ini
adalah yang paling berat bagi munafikin); lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni
Hibban, kitabus shalah, 5/ 454.
Hadits semakna yang juga mensifati
seorang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan kemunafikan adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Ubay bin Ka’ab. Ia berkata:
“Pada suatu hari ketika kami shalat shubuh, Rasulullah SAW bertanya: “Apakah
fulan hadir?”. Mereka menjawab: “Tidak”. (Kemudian Beliau SAW menanyakan orang
lain):”Apakah si fulan hadir?” Mereka juga menjawab: “Tidak”. Kemudian
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya dua shalat ini adalah
shalat yang paling berat atas orang munafiq. Kalau saja kalian tahu apa yang
ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walau pun dengan
merangkak.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan, kitabus shalat, bab Fadllu shalatil
jama’ah, no. 550, 2/259; al-Hafidz al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim.
Telah ditegaskan oleh Yahya Ibnu Ma’in dan adz-Dzuhali bahwa hadits ini shahih;
lihat Targhib wa tarhib, 1/264; dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahih
Targhib wa tarhib, 1/238; Shahih Sunan Ibnu Dawud, 1/111 dan Shahih Sunan
an-Nasa’i, 1/183)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani dari Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi bersabda:
“Kalau saja seseorang dipanggil untuk
makan sop tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya.
Sedangkan jika mereka dipanggil untuk shalat berjama’ah, mereka tidak
mendatanginya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat
jama’ah bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan
adzan, tapi tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan
api. Sungguh tidaklah meninggalkan shalat jama’ah, kecuali munafiq.” (Berkata
al-Haitsami: “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Aushath.
Para perawi-perawi semuanya tsiqah”. Lihat Majma’uz Zawaid kitabus shalah bab
tasydid fi tarkil jama’ah, 2/43)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah
dari Abi Umair bin Anas: menyampaikan kepadaku paman-pamanku dari kalangan
Anshar, mereka berkata: bersabda Rasulullah:
Tidak akan menghadiri keduanya seorang
munafiq, yakni shalat Isya’ dan shalat Fajar. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannaf, kitabus shalawat, bab Takhalufil Isya’ wal Fajr. Berkata al-Hafidz
Ibnu Hajar: “Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Sa’id bin Manshur dengan
sanad shahih dari Abi Umair bin Anas. Lihat Fathul Baari, 2/127)
Demikian pula dalam riwayat Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Barangsiapa yang suka untuk bertemu Allah
kelak dalam keadaan selamat, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut
ketika dipanggil kepadanya, karena sesungguhnya Allah mensyariatkan untuk nabi
kalian ajaran petunjuk. Dan sungguh shalat-shalat itu termasuk ajaran-ajaran
petunjuk Rasulullah . Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian seperti apa yang
dilakukan oleh si mutakhallif ini di rumahnya, maka berarti kalian telah
meninggalkan ajaran nabi kalian. Jika kalian meninggalkan ajaran nabi kalian,
niscaya kalian akan tersesat. ….. Sungguh kami melihat pada diri-diri kami
waktu itu, tidak ada yang meninggalkan shalat jama’ah kecuali seorang munafiq
yang sudah dikenal kemunafikannya.” (HR. Muslim, kitabul Masaajid, bab Shalatul
jama’ah min sunanil Huda, no. 654, 1/453)
Ibnu Umar berkata:
Jika kami kehilangan seseorang dalam
shalat Isya’ dan shalat fajar, maka kami berburuk sangka kepadanya. (HR. Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf dan al-Bazzar; lihat Kasyful Astar. Berkata
al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan perawi-perawinya terpercaya”.
(Majma’uz Zawaid 2/40))
Atha’ bin Abi Rabbah –seorang ulama dari
kalangan tabi’in—berkata:
Kami mendengar bahwasanya tidak
meninggalkan shalat jama’ah kecuali seorang munafiq. (Lihat al-Muhalla, Ibnu
Hazm, masalah ke-485, 4/276). (Diambil dari kitab Ahammiyyatus Shalatil
Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 51 -56).
8. Ancaman kemurkaan Allah
bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan sengaja tanpa udzur
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya mendengar Nabi SAW bersabda:
“Hendaklah kaum-kaum itu berhenti
meninggalkan shalat jama’ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka. Kemudian
jadilah mereka orang-orang yang lalai.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan Abwabul
Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 778, 1/142-143;
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132)
Sudah dimaklumi bersama bahwa ancaman
Nabi SAW terhadap suatu perbuatan menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Maka
Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang haramnya meninggalkan
shalat jama’ah. Lebih tegas lagi apa yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin Aisyah
bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah terancam kejelekan, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam Mushanafnya dari Aisyah ia berkata:
“Barangsiapa yang mendengar panggilan
adzan kemudian tidak mendatanginya, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan
tidak dikehendaki kebaikan padanya.” (HR. Abdurrazzak dalam Mushannaf kitabus
shalah, bab Man Sami’a Nida’ no. 1917, 1/498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf
kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul
Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no.
1903, 4/ 137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)
Atsar di atas menunjukkan bahwa orang
yang meninggalkan sholat berjama’ah tidak dikehendaki kebaikan padanya oleh
Allah SWT. Demikian juga apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a.:
klo hukum buat wanitanya gimana ya?
BalasHapusDari Ibnu Umar r.a., Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Janganlah kamu larang isteri-isteri mu (pergi shalat ke) masjid, namun (shalat) di rumah mereka lebih baik.” (Hadits Shohih Ibnu Khuzaimah)
HapusRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Dengan dalil2 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bagi wanita muslimah, tidak wajib sholat berjamaah di masjid.
Pertanyaan saya berapa jauhkah tetangga mesjid itu?
BalasHapusAtau berapa jauhkan suara azan itu?
Tidak penting seberapa jauhnya, yang penting adalah terdengar atau tidaknya suara azan, kalau terdengar maka pria muslim wajib sholat berjamaa'ah di masjid.
Hapus