Soekarno
dan Ahmad Hassan adalah dua tokoh dengan ideologi yang bertolak belakang.
Soekarno yang menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia dan presiden pertama
Republik Indonesia adalah pendukung nasionalisme, sementara Ahmad Hassan yang
menjadi tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis) adalah seorang pejuang
penegakkan syariat Islam sejati. Debat kedua tokoh tersebut diabadikan dalam
buku bertajuk “Islam dan Kebangsaan”. Berikut ini adalah petikan debat mereka
yang sudah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terkini agar para pembaca
dapat lebih mudah memahami maksud pemikiran kedua tokoh tersebut.
Soekarno (S): ”Indonesia
perlu meniru apa yang telah dilakukan oleh Turki, yakni memisahkan agama dari
negara”.
Ahmad
Hassan (A): Anda menganggap konsep pemisahan agama dari negara seperti yang
dilakukan di Eropa adalah konsep modern. Sepertinya Anda belum tahu, orang
Eropa memisahkan agama Kristen dari negara adalah karena di dalam agama Kristen
tidak ada cara mengatur pemerintahan. Sejak zaman Nabi Isa sampai sekarang belum
pernah ada satu negara pun yang menjalankan hukum agama Kristen. Islam tidak
seperti itu. Di dalam Islam telah diatur cara menjalankan pemerintahan.
(S): “Hilangnya pengaruh
Islam di Turki adalah karena umat terbelenggu
di tengah politik pemerintah yang mengurus agama. Di bidang apa saja dimana
pemerintahannya campur tangan dalam urusan agama, di situ agama menjadi penghalang
besar”.
(A):
Pengaruh Islam hilang di Turki mungkin saja disebabkan oleh kesalahan pemerintah,
tetapi kita perlu melihat dengan jernih, apakah pemerintah sudah menjalankan
roda pemerintahan sesuai syariat Islam dengan baik dan benar atau masih dengan
seenaknya sendiri. Sepanjang sejarah memang sudah lama sultan-sultan Turki menjadikan
Islam hanya sebagai perabot atau hiasan saja, mereka tidak menjalankan Islam dengan benar. Ini
bukan berarti bahwa agama tidak layak dijadikan sebagai dasar hukum negara, dan
hal ini juga tidak berarti bahwa Islam tidak sanggup mengurus tata kelola
pemerintahan. Kalau satu negara sudah dijadikan negara Islam lalu Islam dianggap
sebagai penghalang kemajuan, siapa yang bersalah? Pemerintah atau agama? Kalau
di satu daerah, nasionalisme dijadikan sebagai alat untuk memecah belah umat, maukah
Anda membuang dan menyingkirkan paham seperti itu?
(S): “Demi mewujudkan
kemajuan Turki, maka Islam dipisahkan dari manajemen pemerintahan. Demi
kemajuan Turki, kekhilafahan dihapuskan. Demi kemajuan Turki, hukum Islam
diganti dengan hukum versi Swiss”.
(A):
Hukum yang dijaga dengan senapan dan meriam belum tentu subur. Begitu pula
dengan agama, tidak bisa subur kalau tidak ada pelindungnya. Kekhilafahan itu
perlu ada untuk memelihara, mempertahankan, serta menyuburkan Islam. Namun, di
negara-negara yang menganut nasionalisme, konsep kekhilafahan itu dibuang
jauh-jauh. Bagaimana kalau saya bilang “untuk menjaga agar nasionalisme tetap
terjaga, pemerintah tidak perlu campur tangan dalam hal kebangsaan”? Apakah
pernah terjadi sepanjang sejarah bahwa suatu peraturan, suatu pergerakan, lebih
subur kalau tidak dibela, tidak diurus, hanya dilepas saja, hanya terapung-apung,
timbul-tenggelam? Saya harap Anda tidak berkecil hati membaca tulisan ini. Saya
terpaksa membela apa yang saya rasa patut dibela.
(S): “Hukum positif di Turki
diadopsi dari Code Switzerland untuk menggantikan hukum Islam”.
(A):
Semua orang Islam tahu, bagaimana hukumnya jika negeri Islam tidak menjalankan
hukum Allah dan Rasul-Nya di dalam perkara dunia dan ibadah. Jelas hal itu
adalah fasik, zolim, dan kafir (lihat QS. Al-Maidah: 44, 45, dan 47).
(S): Al-Quran diterjemahkan
ke dalam bahasa Turki seperti Bibel diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan
Inggris.
(A):
Saya setuju Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, tetapi tidak
dengan menghilangkan teks aslinya yang berbahasa Arab. Sebab arti kata dalam
bahasa Arab belum tentu sama maknanya dengan yang biasa kita pahami. Hukum Belanda
ditulis dengan bahasa Belanda. Kalau hukum itu sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu, maka di beberapa tempat, paham yang kita dapati dari buku hukum
dalam bahasa Melayu itu tidak sama dengan yang kita ambil dari buku hukum
bahasa Belanda. Begitulah sebaliknya.
(S): Turki bukan negara
yang fanatik agama. Turki belum lama masuk Islam. Dulunya mereka beragama lain.
Karena itu tidak mengherankan jika mereka membuang urusan-urusan lama, baik
yang sesuai agama atau berlawanan dengan agama.
(A):
“Saya tidak mengerti dari mana Anda bisa mengatakan Turki tidak fanatik agama.
Siapa saja yang membaca sejarah kerajaan Turki di waktu damai dan dalam masa
perang pasti mengetahui bahwa dengan kefanatikan agamalah dulunya bangsa Turki
terkenal dan memperoleh kemenangan yang besar dan luas.Tentara-tentaranya dibuat
menjadi pemberani dengan nasihat agama. Sebelum menjadi negara Islam, Turki
tidak terkenal sebagai satu bangsa yang terkemuka. Tetapi setelah beralih dari menyembah
serigala putih, lalu menerapkan syariat Islam, termasyhurlah mereka. Bangsa
Turki umumnya fanatik terhadap Islam. Hanya kefanatikannya itu ada tingkatannya.
Tetapi di Turki, sebagaimana di dalam bangsa-bangsa lain, juga ada kaum intelek sontoloyo. Kaum
intelektual sontoloyo dan kebarat-baratan ini kemudian berkuasa dan menindas
kelompok muslim hingga tidak dapat bergerak. Seandainya Allah SWT menakdirkan
Anwar Pasja mendapat kemenangan, tentulah Turki saat ini menjadi pusat
persatuan Islam se-dunia, dan tidak ada orang yang mengatakan Turki tidak
fanatik agama. Negara-negara Barat memusuhi Turki dan hendak menghapuskan Turki dari
Eropa karena fanatik agama.
(S): Jika zaman modern
memisahkan urusan dunia dengan urusan spiritual, maka hal itu akan
menyelamatkan dunia dari bencana dan memberi agama satu singgasana yang maha
kuat di dalam kalbu kaum yang beriman.
(A):
Tuan Soekarno rupanya belum atau tidak tahu, bahwa banyaknya bencana yang
terjadi di dunia ini adalah karena tidak ada satu pun negara yang diatur dengan
syariat Islam secara kaffah (sebenar-benarnya), Kalau setiap negara menerapkan
syariat Islam dengan benar, niscaya selamatlah dunia dari semua bencana. Memisahkan
agama dari negara berarti menyiapkan liang kubur yang dalam buat agama itu.
(S): Rakyat Turki gembira
dan berbesar hati memisahkan agama dari negara.
(A):
Ini adalah dusta besar yang diucapkan Tuan Soekarno. Anda sudah membaca 41 buku
tentang Turki, tetapi rupanya Tuan Soekarno tidak melihat bahwa sebenarnya rakyat
Turki membenci pemisahan agama dari negara. Anda
seharusnya membaca juga buku-buku lain yang menyebutkan teriakan rakyat Turki dalam
menentang perbuatan para mulhidin (atheis).
Di
akhir bantahannya ini A.Hassan mengajukan sebuah buku yang mungkin belum
ditelaah Soekarno, yakni “Grey Golf: An Intimate Study of a Dictator by H.C
Armstrong”. Terhadap buku tersebut A.Hassan memberikan catatan ringkas sebagai
berikut:
“Di dalam
buku tersebut dijelaskan sejarah Mustafa Kamal sejak kecil hingga menjadi
diktator Turki. Di sana diceritakan kepandaian dan keberaniannya dalam urusan
perang. Diterangkan pula sifat keras kepalanya dan niatnya memisahkan negara
dari agama. Disebutkan pula kesukaannya meneggak minuman keras dan berjudi,
hingga masa ia menjadi diktator. Diriwayatkan kegemarannya pada
perempuan-perempuan berbibir merah, hanya untuk memuaskan nafsunya semata. Dikisahkan
bagaimana ia menggauli perempuan dengan jalan tidak halal, hingga seorang
perempuan yang bernama Fikriah bunuh diri lantaran malu dan sakit hati. Diungkapkan
bagaimana ia mengusir dan membunuh teman-temannya yang sama-sama mendapatkan
kemenangan, tak lain karena ia ingin meniadakan oposisi dan menjadi penguasa
tunggal. Orang yang sifatnya seperti itu hendak dijadikan teladan oleh Tuan
Soekarno, lalu diikuti oleh Tuan Abdurrahman Baswedan, hingga membuat artikel
panjang lebar yang memuji-muji Turki”.
(A.Hassan,
Islam dan kebangsaan:131-132)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar