Senin, 09 November 2015

Pancasila dan NKRI Harga Mati? (1)

Sekarang sedang hangat-hangatnya berita tentang program bela negara yang diinisiasi oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI. Program yang berisi pendidikan bela negara bagi warga negara dengan kualifikasi tertentu tersebut sudah pasti berisi doktrin-doktrin nasionalisme seperti cinta tanah air, pengabdian kepada bangsa dan negara, dan sebagainya. “Pancasila dan NKRI Harga Mati” adalah doktrin yang ditanamkan kepada para peserta pelatihan bela negara. Apakah doktrin tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam? 


Inti dari ajaran Islam adalah Tauhid, yakni meng-esa-kan Allah Ta’ala. Sebagaimana ajaran Islam lain seperti sholat, puasa, zakat, atau haji, tauhid pun memiliki rukun atau sesuatu yang harus dilaksanakan, yakni ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (TQS. Al- Baqarah [2]:256) 

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada umat Islam untuk bersatu hanya atas dasar satu kesatuan aqidah dan berpegang teguh hanya kepada perintah Allah Ta’ala. Bersatu atas dasar selain satu kesatuan aqidah seperti kesatuan suku, ras, budaya, marga, daerah, tanah air, bangsa, atau negara adalah ikatan yang lemah. Orang-orang yang menyeru dan mengajak bersatu secara berlebih-lebihan melampaui persatuan aqidah pantas disebut sebagai thagut

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. (TQS. An-Nahl [16]:36) 

Dengan demikian berarti Allah Ta’ala mewajibkan seluruh makhluk untuk mengingkari (kufur) terhadap thagut dan beriman hanya kepada Allah saja. Yang dimaksud dengan thagut di sana tentu saja hal-hal selain Allah Ta’ala. Iman dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, bukan kepada yang lain. Dan perintah Allah sangat jelas, jauhilah thagut. Mengenai apa yang seharusnya dipertahankan oleh umat Islam sebagai harga mati, sudah tercantum dalam firman Allah Ta’ala: 

“Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (TQS. At-Taubah [9]: 24) 

Ayat tersebut sudah dengan sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa hal yang harus dipertahankan sebagai harga mati bagi seorang muslim adalah hanya Allah dan Rasul-Nya saja, sementara hal lain seperti keluarga, harta kekayaan, bisnis, tanah air, bangsa, dan negara harus dinomorduakan. 

Coba perhatikan baik-baik penggalan kalimat “tempat tinggal yang kamu sukai” dalam ayat tersebut. Tempat tinggal yang kita sukai bisa saja berupa kampung halaman, tempat kelahiran, negara tempat berdomisili, atau tempat-tempat lainnya. Artinya, tanah air, bangsa, dan negara mendapat urutan setelah level nomor satunya, yakni Allah dan Rasul-Nya. Bisa jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu urutan ke-16, 17, atau urutan lain dari tingkat kecintaan. 

“Sebenarnya boleh ga sih mencintai tanah air, bangsa, dan negara?” 
Jawabannya tentu boleh, dan Islam memperbolehkan hal tersebut. Mencintai suku dan mencintai tempat lahir adalah fitrahnya manusia yang wajar, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda: “Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di negeri lain.” (HR. At Tirmidzi No.3926, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi). 

“Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar dari itu.” (HR. Bukhari 7/161 No.6372) 

Berdasarkan hadits tersebut, boleh-boleh aja mencintai tanah lahir, bangsa, dan negara. Wajar pula kita menghargai nasab atau keturunan, kebolehannya sama seperti kita mencintai keluarga, mencintai harta kepemilikan, mencintai istri dan anak, perniagaan dan yang semisal dengannya. TETAPI.... 

di dalam Islam porsinya tidak boleh melebihi cinta kepada Allah dan Rasul dan apa pun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: 

“Tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selainnya, 
(2) Ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan 
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari No.15) 

Rasa cinta yang wajar dan dibolehkan dalam Islam terhadap segala sesuatu yang sudah disebutkan di atas, termasuk mencintai tempat lahir dan mencintai kaum serta sesama, tidaklah sama dengan nasionalisme, dan tidak selalu harus diwujudkan dengan nasionalisme. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna.” (HR. Abu Daud No. 4681, di-shahih-kan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud) 

Dalam setiap masa dan tempat, manusia senantiasa memerlukan ikatan untuk mempersatukan mereka, dan biasanya ikatan ini ada karena tujuan yang ingin dicapai, karena mustahil mencapai tujuan bersama tanpa adanya ikatan yang mempersatukan. Sebagaimana tali menyatukan lidi maka bisa digunakan untuk tujuan menyapu, sebagaimana paku mengikat kayu maka bisa digunakan untuk membuat sesuatu. 

Contoh kecil, orang-orang yang bepergian dengan pesawat terbang, saat berada dalam pesawat memiliki ikatan sampai mereka tiba di tujuan, maka mereka saling peduli, saling membantu, saling menasihati dan berbuat baik hanya karena mereka punya satu tujuan. Karena itulah kita peduli pada orang di samping kita yang masih mengaktifkan telepon seluler saat pesawat sudah mau take off, karena kita punya kepentingan yang sama. Ini namanya ikatan kepentingan. 

Contoh lain, orang yang berbisnis, antara majikan dan karyawannya juga seperti itu, ikatannya hanya ada selama kepentingannya dan manfaatnya masih ada. Bila sudah hilang kepentingannya, maka ikatannya pun hilang. Ikatan bisa muncul juga bisa hilang, tergantung ikatannya dan tergantung keperluannya. 

Nasionalisme adalah ikatan yang muncul karena beberapa orang tinggal di tempat yang sama dan merasakan adanya ancaman bersama, maka wajar bila ikatan nasionalisme ini selalu memerlukan ancaman demi ancaman agar tetap kuat ikatannya, dan akan melemah begitu penduduknya merasa aman, dan ikatan ini sangatlah lemah karena berdasarkan kesamaan tempat dan ancaman, ikatan reaktif dan temporer bukan ikatan yang produktif dan selamanya. 

Nasionalisme juga merupakan ikatan yang merugikan bagi umat Islam, karena dalam nasionalisme umat Islam akan terjebak dalam belenggu dikotomi kasih sayang dengan orang-orang kafir. Padahal, dalam Islam berkasih sayang dengan orang-orang kafir secara berlebihan adalah hal terlarang, sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (TQS. Al-Mujaadilah [58]: 22) 

Bagi penganut nasionalisme di Indonesia, Pancasila dan NKRI harga mati. Tetapi bagi umat Islam, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah harga mati, tak dapat ditawar-tawar lagi.




Artikel Terkait Ideologi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...