Sebagai muslim tentu kita harus percaya secara mutlak
kepada pedoman dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam memilah dan memilih siapa
yang layak dijadikan penolong dan pemimpin umat Islam. Sikap bertoleransi
dengan orang kafir, baik Ahlul Kitab dan musyrik secara umum, adalah ajaran
Islam. Terutama dalam bermuamalah duniawi kita hidup saling berdampingan dan
saling menghormati. Meski demikian, bukan berarti kita dibolehkan untuk
menjadikan pemimpin di tengah umat Islam dari kalangan mereka.
Agar tidak rancu, harus dibedakan mana “ayat toleransi”
dengan “ayat pedoman memilih pemimpin”. Ayat 8 surah Al-Mumtahanah
yang berisi perintah berbuat baik dan berlaku adil kepada non muslim yang
berdamai dan tidak memerangi umat Islam, tidak bisa dijadikan dalil pedoman
memilih mereka sebagai pemimpin. Toleransi terhadap non muslim tidak berarti
memilih dan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Sebab tidak ada satu ayat pun
yang membolehkan hal demikian. Posisi dasar ini tak bisa ditawar atau dikelabui
karena sudah sangat jelas dalam banyak ayat Al-Qur’an diantaranya Ali Imran: 28, An Nisa’:
144, Al Maidah: 51 dan 57, Al Mumtahinah: 1 dan lain-lain.
Lalu bagaimana jika ada calon pemimpin Muslim tapi calon
wakilnya yang non-Muslim? Para pakar fiqih siyasah syar’iyyah
mengkategorikan wakil pemimpin itu sebagai “Wazir Tafwidh”, yaitu seorang yang
dipilih oleh imam untuk mewakilinya dan diberi kewenangan untuk menjalankan
pemerintahan dengan pandangan dan ijtihadnya. (lihat kitab Al Ahkam As
Sulthaniyah karya Al Mawardi, hlm.22).
Selanjutnya Al Mawardi (w.450 H) menjelaskan, disebabkan
kewenangan Wazir Tafwidh mencakup 4 hal yaitu: menjalankan eksekusi
kehakiman/yudikatif, mengangkat pejabat dan para eksekutif di bawahnya,
mengomandoi satuan keamanan dan pertahanan, dan menetapkan anggaran belanja
dari Baytul Mal, maka diharuskan syarat Muslim bagi yang akan menjabat sebagai
Wazir Tafwidh. (lihat Al Ahkam As Sulthaniyah, hlm.27)
Di dalam Al-Qur`an, orang-orang mukmin diperintahkan taat
kepada Allah, Rasul, dan penguasa dari mereka. “Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para penguasa dari kamu.” (QS.
An-Nisa:59). Penguasa itu adalah pemimpin. Dalam musafir juga perlu ada
pemimpin. Nabi memerintahkan bagi orang yang sedang musafir, jika dalam
rombongan tiga orang agar mereka memilih dan mengangkat satu pemimpin dari
mereka. Karena itu, para ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat atas
wajibnya mengangkat pemimpin.
Siapa yang dipilih dan diangkat jadi pemimpin?
Melalui beberapa ayat Al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa
orang yang diangkat jadi pemimpin itu wajib dari orang mukmin sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagaian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS.
Al-Maidah [5]: 51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang yang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS.
An-Nisa`:144).
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi pemimpin-pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. Ali
Imran:28).
Ketiga ayat di
atas
melarang orang mukmin mengangkat orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang
kafir menjadi pemimpin. Larangan mengambil Yahudi, Nasrani, dan orang kafir
menjadi pemimpin ini jelas dan tegas dalam Al-Qur`an. Lebih dari itu Allah
menegaskan bahwa sekalipun bapak kandung dan saudara kandung, tidak boleh
dipilih dan dijadikan pemimpin kalau mereka itu kafir.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan
bapak-bapak dan saudara-saudaramu jadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih
mengutamakan kekufuran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan
mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS.
At-Taubah [9]: 23).
Ayat tersebut lebih menegaskan agar jangan sekali-kali umat
Islam mengangkat orang kafir jadi pemimpin meskipun saudara dan
ayah kandung sendiri. Ini menunjukkan persyaratan iman merupakan prinsip
utama dalam kepemimpinan. Tidak ada tawar-menawar dalam agama calon pemimpin.
Dari aspek sosio-psikologis, wajar bila seseorang
mendukung calon pemimpin dari sukunya, sekampungnya, seorganisasinya, dan
keluarganya. Namun, menurut Al-Qur`an, agama atau iman di atas semua itu.
Ikatan yang paling kuat dan dekat di antara ikatan-ikatan tersebut adalah
ikatan keluarga. Ikatan keluarga yang paling dekat dan kuat adalah hubungan
ayah dan anak serta hubungan saudara kandung. Dengan alasan ayah kandung dan
saudara kandung pun tidak boleh mengangkatkan kalau kafir. Apalagi dengan
alasan satu organisasi atau satu kampung, tentunya lebih terlarang lagi.
Jika ada orang mukmin yang memaksa diri megangkat orang
kafir jadi pemimpin, maka dia adalah orang zalim. Bahkan, surat Al-Maidah:51 di
atas dapat memberi kesan bahwa orang mukmin yang mengangkat orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin termasuk orang yang berubah agama menjadi agama
Yahudi dan Nasrani.
Pendapat bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik
dari pemimpin mukmin yang zalim bertentangan dengan Al-Qur`an, dan pendapat
yang bertentangan dengan ayat Al-Qur`an jelas tidak boleh dipegang.
Demikian petunjuk Al-Qur`an dalam hal mengangkat
pemimpin. Syarat iman bagi pemimpin mutlak dalam ajaran Islam. Bagi orang
mukmin, Al-Qur`an di atas segalanya. Orang yang ingkar kepada Al-Qur`an adalah
sesat dan keluar dari agama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar