Kamis, 20 Februari 2014

Siapa yang Layak Jadi Pemimpin? (2)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...Sebagai muslim tentu kita harus percaya secara mutlak kepada pedoman dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam memilah dan memilih siapa yang layak dijadikan penolong dan pemimpin umat Islam. Sikap bertoleransi dengan orang kafir, baik Ahlul Kitab dan musyrik secara umum, adalah ajaran Islam. Terutama dalam bermuamalah duniawi kita hidup saling berdampingan dan saling menghormati. Meski demikian, bukan berarti kita dibolehkan untuk menjadikan pemimpin di tengah umat Islam dari kalangan mereka.

Agar tidak rancu, harus dibedakan mana “ayat toleransi” dengan “ayat pedoman memilih pemimpin”. Ayat 8 surah Al-Mumtahanah yang berisi perintah berbuat baik dan berlaku adil kepada non muslim yang berdamai dan tidak memerangi umat Islam, tidak bisa dijadikan dalil pedoman memilih mereka sebagai pemimpin. Toleransi terhadap non muslim tidak berarti memilih dan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Sebab tidak ada satu ayat pun yang membolehkan hal demikian. Posisi dasar ini tak bisa ditawar atau dikelabui karena sudah sangat jelas dalam banyak ayat Al-Qur’an diantaranya Ali Imran: 28, An Nisa’: 144, Al Maidah: 51 dan 57, Al Mumtahinah: 1 dan lain-lain.

Lalu bagaimana jika ada calon pemimpin Muslim tapi calon wakilnya yang non-Muslim? Para pakar fiqih siyasah syar’iyyah mengkategorikan wakil pemimpin itu sebagai “Wazir Tafwidh”, yaitu seorang yang dipilih oleh imam untuk mewakilinya dan diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan dengan pandangan dan ijtihadnya. (lihat kitab Al Ahkam As Sulthaniyah karya Al Mawardi, hlm.22).

Selanjutnya Al Mawardi (w.450 H) menjelaskan, disebabkan kewenangan Wazir Tafwidh mencakup 4 hal yaitu: menjalankan eksekusi kehakiman/yudikatif, mengangkat pejabat dan para eksekutif di bawahnya, mengomandoi satuan keamanan dan pertahanan, dan menetapkan anggaran belanja dari Baytul Mal, maka diharuskan syarat Muslim bagi yang akan menjabat sebagai Wazir Tafwidh. (lihat Al Ahkam As Sulthaniyah, hlm.27)

Di dalam Al-Qur`an, orang-orang mukmin diperintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan penguasa dari mereka. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para penguasa dari kamu.” (QS. An-Nisa:59). Penguasa itu adalah pemimpin. Dalam musafir juga perlu ada pemimpin. Nabi memerintahkan bagi orang yang sedang musafir, jika dalam rombongan tiga orang agar mereka memilih dan mengangkat satu pemimpin dari mereka. Karena itu, para ulama dari dahulu sampai sekarang sepakat atas wajibnya mengangkat pemimpin.

Siapa yang dipilih dan diangkat jadi pemimpin?

Melalui beberapa ayat Al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa orang yang diangkat jadi pemimpin itu wajib dari orang mukmin sendiri.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagaian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisa`:144).

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin-pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. Ali Imran:28).

Ketiga ayat di atas melarang orang mukmin mengangkat orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang kafir menjadi pemimpin. Larangan mengambil Yahudi, Nasrani, dan orang kafir menjadi pemimpin ini jelas dan tegas dalam Al-Qur`an. Lebih dari itu Allah menegaskan bahwa sekalipun bapak kandung dan saudara kandung, tidak boleh dipilih dan dijadikan pemimpin kalau mereka itu kafir. 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu jadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekufuran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23).

Ayat tersebut lebih menegaskan agar jangan sekali-kali umat Islam mengangkat orang kafir jadi pemimpin meskipun saudara dan ayah kandung sendiri. Ini menunjukkan persyaratan iman merupakan prinsip utama dalam kepemimpinan. Tidak ada tawar-menawar dalam agama calon pemimpin.

Dari aspek sosio-psikologis, wajar bila seseorang mendukung calon pemimpin dari sukunya, sekampungnya, seorganisasinya, dan keluarganya. Namun, menurut Al-Qur`an, agama atau iman di atas semua itu. Ikatan yang paling kuat dan dekat di antara ikatan-ikatan tersebut adalah ikatan keluarga. Ikatan keluarga yang paling dekat dan kuat adalah hubungan ayah dan anak serta hubungan saudara kandung. Dengan alasan ayah kandung dan saudara kandung pun tidak boleh mengangkatkan kalau kafir. Apalagi dengan alasan satu organisasi atau satu kampung, tentunya lebih terlarang lagi.

Jika ada orang mukmin yang memaksa diri megangkat orang kafir jadi pemimpin, maka dia adalah orang zalim. Bahkan, surat Al-Maidah:51 di atas dapat memberi kesan bahwa orang mukmin yang mengangkat orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin termasuk orang yang berubah agama menjadi agama Yahudi dan Nasrani.

Pendapat bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pemimpin mukmin yang zalim bertentangan dengan Al-Qur`an, dan pendapat yang bertentangan dengan ayat Al-Qur`an jelas tidak boleh dipegang.

Demikian petunjuk Al-Qur`an dalam hal mengangkat pemimpin. Syarat iman bagi pemimpin mutlak dalam ajaran Islam. Bagi orang mukmin, Al-Qur`an di atas segalanya. Orang yang ingkar kepada Al-Qur`an adalah sesat dan keluar dari agama Islam.



Artikel Terkait Politik

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...