Senin, 17 Februari 2014

Siapa yang Layak Jadi Pemimpin? (1)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...Di dunia maya banyak sekali berseliweran artikel mengenai persoalan mengangkat pemimpin. Kita umat Islam perlu waspada jangan sampai terpengaruh bujukan setan dari tulisan tangan orang-orang kafir atau munafik. Orang-orang kafir jelas sekali mengingkari ayat-ayat Allah SWT, sementara orang-orang munafik (yang mengaku dirinya Islam tetapi mendukung orang kafir agar menjadi pemimpin di Indonesia) berupaya keras mencari alasan dengan mengemukakan logika berpikir yang ngawur untuk menyimpulkan dalam tulisannya bahwa umat Islam boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin. Lalu bagaimana yang benar, bolehkah umat Islam memilih orang kafir menjadi pemimpin baik Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sebagai pemimpin?

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai boleh tidaknya umat Islam memilih orang kafir sebagai pemimpin, perlu kita tegaskan terlebih dahulu mengenai definisi orang kafir. Siapa saja orang-orang kafir itu? Bagaimana ciri-cirinya? Silakan anda pelajari dahulu mengenai siapa orang kafir pada artikel Siapa orang kafir itu? Atau klik disini.

Nah, sekarang jelaslah sudah bahwa yang dimaksud dengan orang kafir itu adalah Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik seperti penganut agama Hindu, Budha, Konghucu, atau kepercayaan lain selain Islam.

Allah SWT secara tegas dan lugas mengharamkan umat Islam untuk mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin kamu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 57)

Orang Islam yang memilih orang kafir sebagai pemimpin tidak akan mendapat pertolongan dari Allah SWT.

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran [3]: 28).

Allah SWT telah mengingatkan kaum muslimin bahwa orang kafir yang mengajukan diri sebagai pemimpin kaum muslimin sebenarnya hanya akan menimbulkan mudharat bagi kaum muslimin.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran [3]: 118)

Orang-orang kafir yang mencalonkan diri sebagai pemimpin kaum muslimin hanya ingin kaum muslimin ikut menjadi kafir seperti mereka.

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya di medan perang, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (QS. An-Nisa [4]: 89)

Allah SWT akan menyiksa atau menurunkan azab kepada orang Islam yang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisa [4]: 144)
Allah SWT melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dalam peperangan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)

Jika ada orang yang mengaku beragama Islam tetapi faktanya justru mendukung orang kafir untuk menjadi pemimpin kaum muslimin, maka mereka itulah orang-orang munafik. Allah SWT akan menyiksa orang-orang munafik dengan azab yang pedih.

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi awliya’ (teman-teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kekuatan adalah milik Allah. Sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam, (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: “Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?” dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 138-141)

Menurut Al Raghib Al Asfahani (pakar bahasa Al-Qur’an; wafat tahun 425 H), kata Al Wala’ dan Al Tawali adalah menyatunya dua hal atau lebih sehingga tidak ada unsur di antara keduanya yang bukan dari mereka. Makna tersebut menekankan arti kedekatan pada sisi tempat, nasab, agama, persahabatan, pertolongan, dan keyakinan. Sedangkan Al Wilayah berarti pertolongan, dan juga berarti menguasai suatu urusan (memimpin). (lihat kitab Mufradat Alfaz Al Qur’an, halaman 885).

Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan arti “pertolongan” antara lain:
“Allah adalah wali (penolong) orang-orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah [2]: 257) dan “Sesungguhnya wali (penolong) ku adalah Allah” (QS. Al A’raaf [7]: 196). 

Ayat yang menunjukkan arti “penguasaan atau kepemimpinan” antara lain:

“Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya.” (QS. Al An’am [6]: 62)

“Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 6)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51). (lihat kitab Mufradat Alfaz Al Qur’an, halaman 885)

Umat Islam yang telah mengetahui bahwa haram hukumnya memilih dan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin kaum muslimin harus benar-benar meyakini bahwa larangan tersebut adalah kehendak Allah SWT yang harus dituruti atau dipenuhi. Jika ada yang ragu-ragu terhadap larangan Allah SWT tersebut, maka Allah SWT tidak akan memberi ampunan kepada mereka yang ragu-ragu atau tidak yakin dengan larangan Allah SWT.

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa [4]: 136-137).

Di akhir rangkaian ayat yang melarang menjadikan kafir sebagai wali/pemimpin umat Islam, Allah ta’ala menyatakan “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” Ibnu Katsir menulis (lihat vol.2/386-387), kalimat tersebut adalah bantahan terhadap orang munafik yang berharap hancurnya kelompok orang-orang beriman, dan perilaku mereka yang pro kaum kafir karena takut akan keselamatan jiwa mereka jika kaum kafir mengalahkan kaum beriman dan memusnahkannya hingga ke akar-akarnya. Allah membantah itu semua dengan menyatakan tidak mungkin Allah berikan jalan kepada kafir untuk memusnahkan kaum Muslimin. Hal ini ditekankan agar kita tidak “menyesalinya” di kemudian hari (lihat QS. Al-Maidah: 52). Konsekuensi keimanan terhadap pernyataan itu adalah umat Islam tidak boleh gentar dan takut kepada kekuatan kaum kafir, apalagi ketakutan itu sampai taraf berkoalisi dengan mereka dengan dalih untuk melindungi nyawa kaum Muslimin.


Artikel Terkait Politik

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...