Senin, 10 Februari 2014

Etika Islam terhadap Orang Kafir

Ada orang yang mengaku beragama Islam tetapi tega membunuh ratusan orang kafir yang sedang dugem di sebuah kafe di Bali dengan satu aksi ledakan bom bunuh diri. Apakah agama Islam mengajarkan seperti itu? Bagaimana seharusnya perilaku seorang muslim terhadap orang-orang kafir? Mari kita bahas etika yang diajarkan oleh agama Islam terhadap orang-orang kafir. 

Allah SWT melalui agama Islam mengajarkan umat Islam agar bertindak adil terhadap semua umat manusia. Tidak sembarangan orang Islam boleh membunuh orang-orang kafir. Semua ada etikanya. Perilaku umat Islam terhadap orang-orang kafir tergantung kepada jenis kafir apa orang kafir yang sedang dihadapi. 

  1. Dakwahkan Islam kepada orang-orang kafir, berusahalah menghilangkan "penutup" yang menyebabkan mereka kafir, sampaikanlah bahwa hanya Allah SWT saja yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. "Serulah (manusia) kepada jalan Allah SWT-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. An-Nahl [16]: 125). "Maka karena itu serulah (mereka kepada agama Islam) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka..." (QS. As-Syuura [42]: 15). 
  2. Tetap berbuat baik terhadap mereka, terutama dengan yang memiliki hubungan kekerabatan. "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ..." (QS. Luqman [31]: 15). Ayat ini berbicara tentang orang tua yang kafir, dan kita tetap diperintah untuk memperlakukan mereka dengan baik. "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insaan [76]: 8). "orang yang ditawan" dalam ayat ini juga tiada lain adalah orang-orang kafir. "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8) 
  3. Tidak memaksa mereka untuk menjadi muslim. "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..." (QS. Al-Baqarah [2]: 256) "Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Allah SWT; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir..." (QS. Al-Kahfi [18]: 29) "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya..." (QS. Al-Baqarah [2]: 272) 
  4. Berbuat adil dan tidak mendzalimi mereka, selama mereka tidak memerangi muslimin. "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8) "...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." (QS. Al-Maidah [5]: 8) 
  5. Memerangi mereka, jika mereka memerangi dan menzolimi kaum muslimin secara serang-terangan. "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah SWT..." (QS. Al-Hajj [22]: 39-40) "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah [2]: 190-193) 
  6. Tidak menjadikan mereka sebagai kawan, pemimpin atau penolong, kalau mereka memerangi muslimin. "Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Mumtahanah [60]: 9) "Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah..." (QS. Ali Imran [3]: 28). Kata "wali" bentuk jamaknya adalah "auliyaa" yang artinya teman yang akrab, pemimpin, penolong atau pelindung. "Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong," (QS. An-Nisaa [4]: 89) 
  7. Menyambut tawaran damai dari mereka setelah terlibat peperangan. "tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu (menyerah) maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka." (QS. An-Nisa [4]: 90) "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfaal [8]: 61) Dalam kehidupan sehari-hari, tidak seharusnya seorang muslim memanggil orang kafir dengan sebutan kafir (wahai orang kafir), meskipun seorang muslim wajib yakin bahwa orang selain muslim adalah kafir karena al-Quran telah jelas menyatakan hal itu. 
Rasulullah SAW dalam berinteraksi dengan orang-orang yahudi atau orang musyrik kafir Quraisy, yang jelas mereka adalah golongan orang-orang kafir, Rasulullah tidak memanggil dengan sebutan ”ya kafir”. Tapi beliau menyebut misalnya orang yahudi, nasrani, qurays, bahkan ketika mengirim surat ke raja romawi, Rasulullah SAW menggunakan kata-kata ”ya adhimu rum”. Betapa beliau mengormati orang lain. 

Jenis-Jenis Kafir Berdasarkan Hubungannya Dengan Muslim 
1. Golongan "Muharribin" (yang memerangi), yaitu orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, yang mengusir muslimin dari kampung-kampung halaman, dan yang membantu pihak-pihak yang mengusir atau mendlzalimi ummat Islam. Termasuk di sini juga mereka yang menghalangi muslimin dari melaksanakan kewajiban syari'at. Terhadap golongan ini, ummat Islam wajib memberlakukan point etika nomor 5, 6 dan 7. 
2. Golongan "Musalim" (yang berdamai) atau Golongan "Mu'ahidin" (yang membuat perjanjian), yaitu orang-orang kafir yang tidak terlibat dalam setiap usaha yang ada di penjelasan mengenai Muharribin, dan sama sekali tidak turut andil dalam konspirasi apa pun untuk memusuhi kaum muslimin. (Lihat lagi QS. Al-Mumtanah ayat 8-9). Terhadap golongan ini, ummat Islam harus melaksaknakan point etika nomor 1 s.d. 4. Golongan ini dibagi dua klasifikasi lagi, yaitu: 
    a. Mereka yang mempunyai perjanjian damai sementara, terhadap mereka umat Islam diwajibkan untuk menjaga perdamaian itu dan melindungi mereka sampai batas waktu perjanjiannya habis. 
    b. Mereka yang mempunyai perjanjian tetap selama-lamanya. Merekalah yang disebut sebagai "Ahlu Dzimmah", yaitu orang-orang yang mendapat jaminan Allah SWT, jaminan Rasul SAW, dan jaminan keamanan dari komunitas muslimin. 

Pada ranah negara/pemerintahan, Ahlu Dzimmah memiliki hak sebagaimana hak kaum muslimin (termasuk politik), dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban muslimin (kecuali dalam hal yang menyangkut konsekuensi syari'at masing-masing). Ahlu Dzimmah wajib dibela dan dilindungi sebagaimana muslimin membela dan melindungi saudaranya sesama muslim. 

Amirul Mukminin 'Umar ibnul Khattab pernah menghapus istilah "Jizyah" bagi Ahlu Dzimmah dari nasrani arab Bani Taghlib, ketika mereka keberatan pungutannya disebut demikian. Dan pungutan tersebut oleh 'Umar disebut sebagai "zakat" sesuai permohonan mereka agar tidak dibedakan dari kaum muslimin. Khalifah 'Umar menyetujui permohonan ini sambil mengatakan "Mereka itu orang yang dungu, mereka rela muatan artinya, dan menolak namanya." (Fiqhuz Zakat II/708). 

Imam Al-Auza'i mendukung Ahlu Dzimmah di Libanon yang bersikap menentang seorang gubernur dari kerabat dinasti Abasiyah yang berlaku tidak adil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menghadap Kaisar Mongol Timur Leng dan meminta pembebasan tawanan. Ketika Timur Leng menawarkan hanya membebaskan tawanan yang muslim, Ibnu Taimiyah menolak hal itu, kecuali Timur Leng mau membebaskan juga Ahlu Dzimmah yang ditawan bersama kaum muslimin. 

Melihat aturan Islam terhadap kaum kafir, dan bukti-bukti sejarah pelaksanaan hal ini, maka toleransi mana lagi yang lebih tinggi kecuali toleransi yang diajarkan oleh Al-Quran dan Sunnah? Jadi, yang perlu dipahamkan adalah definisi kafir, kategori kafir dalam Islam, dan ketika penyebutan kata-kata kafir, tidak selamanya mempunyai konotasi berakhlak buruk, jahat, dan sifat-sifat kotor lainnya, dan tidak juga sebagai bentuk pelecehan nilai-nilai kemanusiaan, karena semua manusia adalah ciptaan Allah SWT dan dari segi kemanusiaan semua manusia adalah saudara. 

Penyebutan kata kafir lebih kepada masalah keimanan, karena mereka tidak mau mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb yang wajib disembah dan ditaati, dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya serta mengingkari ajaran-ajarannya. Kafir secara istilah sama saja dengan makna non muslim, artinya jika mereka rela dipanggil non muslim, sebenarnya tanpa disadari mereka rela dipanggil kafir dari perspektif islam. Dari penjelasan yang panjang lebar mengenai orang kafir di atas, adakah perlakuan yang lebih baik daripada perlakuan Islam terhadap orang kafir? Ternyata pengertian kafir di dalam Islam tidaklah melecehkan sama sekali. 


Referensi: 
http://www.muslimsays.com/2012/03/pandangan-islam-vs-kristen-terhadap.html#ixzz2p22taere 
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/konsep-kafir-zimi-dalam-islam.htm 
http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2011/01/13/12768/cuma-mengucapkan-laa-ilaaha-illallaah-bisakah-masuk-surga/#sthash.3sJjuYmr.dpuf



Artikel Terkait Fiqih

2 komentar:

  1. setuju, saya izin bantu share, ini informasi penting untuk kita sebagai bangsa yg beraneka ragam.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...