Senin, 28 Juli 2014

Menggugat Pancasila (3)


#Sila ke-3: Persatuan Indonesia

Pendidikan Pancasila mengajarkan kepada peserta didik bahwa seorang Warga Negara Indonesia (WNI) harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, termasuk kepentingan agama sekalipun. Dengan konsep ini, maka yang paling diutamakan adalah persatuan dan kesatuan bangsa, soal kepentingan agama Islam, itu nomor 19. Kalau umat Islam meminta penegakkan syariat Islam secara kaffah kepada pemerintah RI lalu umat agama lain menolaknya maka yang diutamakan oleh pemerintah adalah persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam wajib mengalah saja dan harus bersedia mengikuti kehendak orang-orang kafir. Karena yang diutamakan adalah persatuan dan kesatuan bangsa, maka institusi militer dan penegakkan hukum boleh diisi oleh orang-orang kafir dan jabatan-jabatan strategis di pemerintahan pun boleh diduduki oleh orang-orang kafir. Bolehkah umat Islam bersatu padu dengan orang-orang kafir dalam segala hal?

Allah Ta'ala berfirman:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath [48] : 29)

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali (mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23)

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya, mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali". (QS. Al-Mumtahanah [60] : 4)

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.“ (QS. At-Taubah [9] : 73)

Mengenai pengertian kata “jihad”, Mazhab Hanafi mengartikannya secara bahasa (Lughoh) sebagai aktifitas menggunakan sesuatu secara maksimal baik berupa perkataan maupun perbuatan. Secara Syari’ah, jihad berarti membunuh orang-orang kafir, memancung kepala mereka, mengambil harta mereka, dan meruntuhkan rumah-rumah berhala (ibadah) mereka guna menegakkan Islam. Silakan buka lagi Al-Qur’an anda sendiri, lalu lihat surah Al-Maidah: 54, An-Nisa: 144, Ali Imran: 28, Al-Maidah: 51 dan 57.

Dengan tegas dan jelas Allah Azza wa Jalla melarang kaum Muslimin untuk bersatu dengan orang-orang kafir, apabila dalam menjalankan ibadah kepada Allah, Islam tidak mengenal toleransi beragama dalam arti beribadah bersama-sama, umat Islam hanya diperintahkan bersatu, hanya berdasarkan taqwa kepada Allah, yaitu bersatu dengan sesama muslim bukan bersatu padu dengan orang-orang kafir yang membenci Islam.

Sementara Pancasila, justru dapat menimbulkan pemahaman yang sebaliknya, karena berpegang teguh pada Pancasila maka umat Islam di Indonesia digiring untuk meninggalkan ajaran Islam yang benar yakni memusuhi orang-orang kafir dan meningkatkan nasionalitas atau semangat berkebangsaan dengan bersatu padu bersama orang-orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam. Pancasila memang dimanfaatkan oleh orang-orang kafir yang memusuhi Islam untuk melunturkan pemahaman umat Islam yang benar.

Di sekolah-sekolah umum, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan selalu menekankan bahwa dengan Persatuan Indonesia harus dikembangkan semangat cinta tanah air dan bangsa (nasionalitas) serta semangat pengabdian dan pengorbanan kepada tanah air dan bangsa yang hakikatnya bersumber pada kesadaran senasib dan seperjuangan dalam menghadapi tantangan hidup.

Dengan tegas dan jelas dikatakan di sana bahwa Pancasila bertujuan untuk menanamkan nasionalisme, meningkatkan nasionalitas, menimbulkan kebanggaan berbangsa, merasa lebih tinggi dan lebih baik dari bangsa lain, serta memandang rendah bangsa lain. Padahal Islam memandang mulia dan tidaknya seseorang bukan tergantung dari bangsa, ras, suku, harta, atau yang lainnya, melainkan taqwanya kepada Allah semata.

Islam diturunkan untuk menghapuskan nasionalisme, sekat-sekat kebangsaan, dan mempersatukan umat manusia seluruh dunia di bawah naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 30).

Khilafah adalah sistem pemerintahan dalam Islam, manusia sebagai wakil Allah untuk menjalankan semua yang diturunkan-Nya, semua peraturan-peraturan, dan perundang-undangan tidak boleh keluar atau menyimpang dari wahyu Allah, daerah kekuasaannya meliputi seluruh alam semesta.

Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang universal, tidak rasial, tidak nasional, dan tidak pula terbatas di dalam lingkungan batas-batas geografis. Dia terbuka untuk seluruh anak manusia tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit, atau bahasa.

Rasulullah SAW telah melarang keras umat Islam untuk mendakwahkan, mengajarkan, serta menyebarluaskan paham nasionalisme. Rasulullah SAW juga melarang umat Islam untuk berperang membela paham nasionalisme. Anda yang berprofesi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu berhati-hati jangan sampai menjadi orang yang disebut dalam hadits berikut ini, Rasulullah SAW bersabda:

“Bukan tergolong umatku orang-orang yang menyerukan Ashobiyyah, bukan tergolong umatku orang-orang yang berperang atas dasar Ashobiyyah, bukan tergolong umatku orang-orang yang mati atas dasar Ashobiyyah.” (HR. Abu Dawud)

‘Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga dari siapa pun yang menyerang mereka, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak. Menurutnya, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadits identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka zalim. Pandangan ini sama dengan pandangan al-Manawi ketika menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau menyatakan, “Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim.” Sementara al-Qari menyatakan, “Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.”

Dalam hadits lain, larangan berperang di bawah bendera ‘Ummiyyah atau ‘Immiyyah, menurut as-Sindi adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jama’ah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil, benar atau salah. Karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah.

Dengan demikian, jelas bahwa makna ‘ashabiyyah di sini bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan marah dan hawa nafsu, termasuk membela nafsu berbangsa dan mengabaikan syariat Islam. Nasionalisme adalah paham yang identik dengan Ashobiyyah. Anggota TNI yang mati karena membela ideologi nasionalisme pasti masuk neraka, tetapi anggota TNI yang gugur karena membela agama Allah Ta'ala, membela kaum muslimin yang terzolimi, pasti masuk sorga.

Sebagai tindak lanjut dari penghapusan sekat-sekat suku bangsa, ras, bahasa, dan warna kulit, maka Islam meniadakan pula batas geografi antara berbagai bangsa yang menciptakan paham nasionalisme sempit dan yang menjadi sumber bagi persaingan sengit antara bangsa-bangsa (nations) yang berbeda–beda. Persaingan antar bangsa inilah yang melahirkan sistem penjajahan yang intinya adalah eksploitasi bangsa atas bangsa dan tanah air atas tanah air.

Pemahaman mengenai makna sila Persatuan Indonesia telah melahirkn sikap patriotisme sempit, mengabdi dan rela mengorbankan diri demi untuk kepentingan negara dan bangsa. Padahal, orang Islam hanya boleh mengabdi, berbakti, dan taat hanya kepada Allah Ta’ala saja. Mengorbankan diri hanya untuk bangsa itulah perbuatan syirik yang dianjurkan Pancasila.

Seorang Muslim diperintahkan beribadah (mengabdi), taat, dan berkorban semata-mata karena Allah saja. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).

“Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’am [6] : 163)

Salah satu hal yang mengakibatkan batalnya syahadat seorang muslim adalah terlalu cinta pada tanah air, bangsa, dan negara secara berlebihan dan berjuang karena membela tanah air, bangsa, dan negara bukan karena Allah Ta’ala. Jadi, bagi anda para anggota TNI dan POLRI yang beragama Islam, berhati-hatilah, jangan sampai anda berperang karena membela bangsa dan negara, tetapi berperanglah karena membela Allah Ta'ala. Jika anda mati di medan pertempuran karena membela bangsa dan negara, bangsa dan negara tidak bisa membela anda di akhirat, tetapi jika anda mati di medan pertempuran karena membela Allah Ta'ala, maka Allah pastikan surga yang abadi untuk anda.



Artikel Terkait Ideologi

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...