Senin, 11 Agustus 2014

Menggugat Pancasila (4)


#Sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

Sila ke-4 Pancasila merupakan penjelmaan dasar politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni demokrasi. Politik negara yang menempatkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Allah Ta’ala menjadi landasan mutlak sifat demokrasi Indonesia. Karena kedaulatan rakyat itu dianggap mutlak, maka sifat demokrasi Indonesia juga dinilai mutlak, tidak dapat diubah atau ditiadakan. Warga negara yang mencoba mengganti sistem demokrasi ini menjadi sistem berbasis Syariat Islam pasti dianggap teroris, pengkhianat bangsa, provokator, pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila ke-4 dilambangkan dengan binatang banteng atau lembu liar yang memiliki sifat sosial. Secara teori, sila ke-4 dimaknai sebagai pengambilan keputusan yang dilakukan bersama melalui mekanisme musyawarah, gotong-royong, dan kekeluargaan yang merupakan nilai-nilai khas bangsa Indonesia. Namun, pada praktiknya yang terjadi justru sebaliknya, manusia-manusia yang terlibat dalam politik praktis malah anti musyawarah, lebih suka pemungutan suara (voting), individualis, mementingkan kepentingan pribadi, materialistis, serta memiliki karakter yang identik dengan lambang sila ini, mereka betul-betul seperti banteng, liar, suka menyeruduk atau melanggar aturan-aturan agama Islam.

Sila ke-4 Pancasila memiliki makna mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan budaya bermusyawarah dalam mengambil keputusan bersama, bermusyawarah sampai mencapai kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan. Tetapi itu semua teori, faktanya para elit politik saat ini justru mengutamakan kepentingan pribadi, partainya, kelompoknya, memaksakan kehendaknya untuk menjegal Syariat Islam dalam segala bentuk, dan mengutamakan pemungutan suara ketimbang musyawarah dalam menyelesaikan masalah.

Sila ke-4 dimaknai bahwa rakyat menjadi unsur utama dalam demokrasi, sementara syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala tidak pernah dijadikan dasar pengambilan keputusan. Hakikat sila ini adalah demokrasi. Demokrasi dalam arti umum yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Permusyawaratan diartikan sebagai upaya mendapatkan putusan secara bulat dan sesudah itu diadakan tindakan bersama. Bulat yang dimaksud adalah hasil mufakat, artinya keputusan itu diambil dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian berarti penentu demokrasi yang berdasarkan Pancasila adalah kebulatan mufakat sebagai hasil kebikjasanaan nafsu para elit politik. Kebijaksanaan ini merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak.

Konsep demokrasi dalam Pancasila bersumber dari kebiasaan nenek moyang bangsa Indonesia yang menganut paham animisme, Hindu, maupun Budha. Demokrasi Pancasila dianggap telah dipraktikkan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala (oleh nenek moyang) dan masih dijumpai sampai sekarang.

Demokrasi Indonesia dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam ajaran Pancasila, pemimpin yang hikmat dimaknai sebagai pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat fisik/jasmaniah; sementara kebijaksanaan adalah pemimpin yang berhati nurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya pada hal-hal yang bersifat psikis/rohaniah. Pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu lebih mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) dan juga dewasa (bijaksana).

Jadi bagi penganut ajaran Pancasila, seorang pemimpin itu tidak perlu diperhatikan aqidahnya, aqidah dan akhlak nomor 19, nomor satu adalah rasional, tidak penting syarat ia memahami serta mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah atau tidak, yang penting adalah pemimpin itu menang dari hasil pemungutan suara.

Nilai filosofis yang terkandung di dalam sila ke-4 didaulat sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sementara kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Ta’ala yang wajib taat dan tunduk terhadap semua ketentuan Allah tidak dianggap sama sekali. Rakyat dianggap sebagai subjek pendukung pokok negara, sedangkan negara dianggap berasal dari, oleh, dan untuk rakyat, sehingga rakyat dianggap sebagai asal mula kekuasaan negara.

Itulah pemahaman ngawur yang kalau dipelihara terus menerus akan menjerumuskan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran seperti bangsa-bangsa sebelumnya yang telah dibinasakan oleh Allah Ta’ala karena ingkar terhadap segala ketentuan Allah. Lihat saja bangsa Nuh, bangsa ‘Ad, bangsa Luth, bangsa Tsamud, dan bangsa-bangsa lain yang merasa rakyatnya adalah Tuhan, merasa rakyat adalah pemilik negara. Padahal bangsa dan negaranya adalah milik Allah Ta’ala, bukan milik rakyat.

Dalam ajaran Pancasila, seluruh rakyat Indonesia harus tunduk dan patuh kepada semua peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Rakyat dalam menjalankan kekuasaannya menggunakan sistem perwakilan, sedangkan segala keputusan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat harus berdasarkan kepentingan pribadi elit politik, partai, dan kelompok yang ditetapkan melalui pemungutan suara terbanyak.

Dalam sistem politik Pancasila, pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat yang diwakilkan melalui lembaga-lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD). Ketaatan ditujukan kepada keputusan sepihak para anggota lembaga legislatif. Hal ini sangat bertentangan dengan sistem Islam dimana ketaatan harus ditujukan hanya kepada Allah semata dan semua elemen bangsa, baik rakyat maupun pemerintah, wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram meninggalkan Syariat Islam atau mengikuti undang-undang buatan manusia yang dibuat berdasarkan nafsu bukan berdasarkan ketentuan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Maidah [5] : 55)

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raf [7] : 3)

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah [45] : 18)

Pemimpin tertinggi umat Islam adalah Allah, Rasul-Nya kemudian orang-orang yang beriman yang tunduk dan patuh kepada wahyu yang diturunkan Allah, bukan orang yang mengikuti akal doank yang tak terlepas dari hawa nafsu. Seorang muslim harus tunduk dan patuh hanya kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, diperkenankan taat kepada manusia asalkan orang itu beriman dan tidak mengajak kepada maksiat terhadap Allah Ta’ala.

Akibat pemahaman bahwa lembaga perwakilan rakyat boleh membuat aturan seenaknya sendiri, sementara di dalam lembaga perwakilan itu terdiri dari beberapa golongan agama dan kepercayaan, ada wakil Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen, Sosialis, Kapitalis, dan lain sebagainya, maka jadilah peraturan perundang-undangan yang dibuat itu harus sesuai kehendak orang Kristen, Hindu, Budha, Kejawen, dll. Sedangkan Islam menghendaki Syuro atau lembaga perwakilan yang terdiri hanya dari perwakilan orang-orang Islam yang berilmu, menguasai dan memahami Al-Quran dan As-Sunnah, dan taat kepada Allah Ta’ala saja, bukan dari berbagai golongan.

Dalam Islam, semua keputusan yang diambil tidak boleh sama sekali bertentangan dengan Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sementara dengan demokrasi Pancasila, lembaga legislatif banyak sekali menelurkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Islam. Seorang muslim tidak diizinkan sama sekali menjadi anggota lembaga legislatif yang selalu menolak implementasi Syariat Islam. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (QS. An-Nisa [4]: 140)

Lihat saja para anggota lembaga legislatif yang berasal dari partai Islam saat ini, mereka hanya mencari kursi, kedudukan, kekuasaan, dan uang saja, mereka tidak membawa ideologi Islam sejati, padahal ketika berkampaye mereka selalu menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, namun setelah menarik simpati umat Islam dan terpilih, mereka lupa sama sekali dengan ayat-ayat Allah yang dibacakannya. 

Rasulullah SAW tidak pernah mau duduk bersama Abu Jahal (di darut nadwah), meskipun Abu Jahal menawarkan kepada Rasulullah SAW untuk bergantian memerintah Makkah. Jadi, sistem politik menurut Pancasila dan Islam sangat bertentangan. Islam bersumber pada wahyu Allah Yang Maha Sempurna, sedangkan Pancasila bersumber dari filsafat, hasil pemikiran otak manusia yang lemah, apalagi digali dari sumber-sumber pemikiran orang-orang kafir Barat dan ditambah lagi dengan sumber-sumber pemikiran bangsa Indonesia “tempo doeloe” yakni animisme.


 




Artikel Terkait Ideologi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...