#Sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Dalam konteks Pancasila, suatu perbuatan dianggap adil dan beradab apabila sesuai dengan sifat manusiawi (kemanusiaan). Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan lingkungan.
Pancasila dijadikan pedoman hidup bangsa Indonesia dengan
harapan agar bangsa Indonesia dapat mencapai kesejahteraan lahir dan batin dalam
masyarakat yang heterogen. Namun, faktanya tidak demikian. Bangsa Indonesia
hingga saat ini justru tidak sejahtera lahir dan batin. Secara teori, Pancasila
diharapkan menjadi jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila lahir
bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa
Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah laku sehingga dapat membedakan
dengan bangsa lain.
Salah satu nilai yang ditanamkan melalui Pancasila adalah
mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Namun, saat ini yang terjadi justru sebaliknya, di
semua lini masyarakat terjadi degradasi perilaku masyarakat Indonesia. Kerusakan
moral di dalam masyarakat membuktikan bahwa sila kedua hanya sekedar teori yang
tidak diimplementasikan. Sila kedua Pancasila tidak dijadikan sebagai pedoman
bertingkah laku dalam masyarakat.
Ideologi Pancasila menghendaki agar semua warga negara
Indonesia dapat mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia. Setiap manusia mempunyai martabat, sehingga
tidak boleh melecehkan manusia yang lain, atau menghalangi manusia lain untuk
hidup secara layak, serta menghormati kepunyaan atau milik (harta, sifat, dan
karakter) orang lain. Namun sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan
oleh orang-orang kafir untuk memaksa umat Islam agar mengakui bahwa agama lain selain
Islam juga mengandung nilai kebenaran., bukan cuma Islam saja agama yang benar.
Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga
negara Indonesia dapat saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki
adanya suatu keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa
untuk memiliki dan kalau perlu pengorbanan untuk mempertahankannya. Dengan
perasaan cinta pula manusia dapat meningkatkan kualitas relasi sosial seperti
kerjasama, gotong-royong, dan solidaritas. Dengan rasa cinta kasih itu pula
orang akan berbuat ikhlas, saling membesarkan hati, saling berlaku setia dan
jujur, saling menghargai harkat dan derajat satu sama lain. Namun sayangnya,
dalam kehidupan sehari-hari kita temui bahwa nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan
oleh orang-orang kafir agar umat Islam di Indonesia mau saling berkasih sayang,
bekerja sama, dan mencintai orang kafir sampai-sampai apa pun keinginannya
harus dipenuhi. Orang kafir tidak ingin Syariat Islam tegak di Indonesia, umat
Islam harus setuju sebagai bentuk kasih sayang dan kerja sama dengan orang-orang
kafir.
Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga
negara Indonesia dapat mengembangkan sikap tenggang rasa. Sikap ini menghendaki
adanya usaha dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan
menghormati perasaan orang lain. Sikap tenggang rasa harus diwujudkan dalam
toleransi beragama. Namun sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh
orang-orang kafir untuk memaksa umat Islam di Indonesia agar menghargai agama
lain, agar umat Islam mengakui bahwa agama selain Islam juga dipertimbangkan
dalam membuat dan menerapkan hukum positif.
Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga
negara Indonesia tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti
sewenang-wenang, berat sebelah, dan tidak berimbang. Setiap manusia tidak boleh
sewenang-wenang, harus menjunjung tinggi hak dan kewajiban orang lain. Namun
sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir agar
muslim di Indonesia tidak sewenang-wenang menentukan agama Islam sebagai dasar
negara, umat Islam tidak boleh sewenang-wenang menerapkan hukum potong tangan
bagi para koruptor, umat Islam tidak boleh sewenang-wenang mengharamkan
pemerintah RI menghentikan utang-utang berbasis riba, dll.
Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga
negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap warga negara
harus menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik, mengakui
adanya masyarakat yang bersifat majemuk, melakukan sesuatu dengan pertimbangan
moral, melakukan sesuatu dengan jujur dan kompetisi yang sehat, memerhatikan
kehidupan yang layak antar sesama, dan melakukan kerja sama dengan itikad baik
dan tidak curang. Namun sayangnya, alasan menghargai nilai kemajemukan atau
pluralitas justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir dan munafik untuk
menghentikan upaya penegakkan Syariat Islam.
Pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah umum menghendaki agar segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kodrat manusiawi (lebih tepatnya nafsu manusia) tidak diterima dan dibenarkan, padahal manusia yang tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat akan cenderung mengikuti hawa nafsu yang sesat.
Jika dicermati dalam sudut ”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua
sebagai bagian dari Pancasila menunjukkan pengaruh besar dari konsep Islam
terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila kedua itu
sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang
BPUPKI. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka,
yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3)
Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.
Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi
berlaku, maka konsep kemanusiaan yang seharusnya dikembangkan di Indonesia
adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan
biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa menjelaskan
makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?
Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”, sebab kedua istilah dan konsep
itu memang istilah yang khas Islam.
Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata
yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di
wilayah Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya ”adab”?
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kedua istilah dan konsep itu – yakni
”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan
karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal, tidaklah salah jika
orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami.
Rumusan sila kedua Pancasila menunjukkan bahwa
Pancasila secara teori bukan sebuah konsep sekuler atau konsep netral agama,
sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini. Masuknya
kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi
yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam (Islamic worldview) pada rumusan
Pancasila.
Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam
banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang
artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan
memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang
dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS.
An-Nahl [16] : 90).
Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat
ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan
yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim,
aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak
mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah,
sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama
keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka
selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan
percaya-mempercayai,” tulis Hamka.
Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil
adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam seharusnya dipahami dari
perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep
Islam lainnya.
Jika konsep adil dipahami dalam kerangka
pandangan-alam Barat (western worldview),
maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau feminis
liberal yang berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat,
misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang mereka nilai menerapkan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Mereka mempertanyakan mengapa aqiqah untuk bayi
laki-laki adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan hanya satu
kambing, mengapa soal harta warisan anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari
yang didapat anak perempuan. Bagi mereka
orang-orang kafir dan munafik, konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif.
Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan
adalah adil. Menurut konsep yang lain,
bisa dikatakan tidak adil.
Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan
antara hak “orang jahat” dengan ”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek
kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika
Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi,
amnesti, dan rehabilitasi kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam yang
lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluarga korban
kejahatan.
Jadi, kata adil memang sangat beragam maknanya,
tergantung pandangan-alam apa yang digunakan. Sejumlah kalangan dengan alasan Hak
Azazi Manusia (HAM) menilai aturan Islam
tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki
non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan agar kaum
homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan
pernikahan mereka sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama kalau dibiarkan
mereka bisa juga menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan
binatang, dengan alasan tidak mengganggu orang lain.
Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak
untuk hidup, dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua –
Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut
pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki.
Bagi kaum Muslim, cendekiawan Muslim Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan
bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai
terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan
pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak
istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang
sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).
Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan
istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi salah satu pihak atau
menyamaratakan taraf tanpa batasan”. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah
“adab” yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan yang
lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam [Pulau Pinang: Universiti Sains
Malaysia, 2007]).
Ideologi Pancasila lebih cenderung menjerumuskan orang
untuk mengikuti hawa nafsu manusia ketimbang mengikuti ketentuan Allah Ta’ala, misalnya:
Hukuman potong tangan bagi pencuri, perampok, atau koruptor dan hukuman rajam bagi pezina dianggap tidak manusiawi, tidak beradab, dan melanggar Hak Azazi Manusia (HAM), sehingga tidak dapat diterima oleh Pancasila, sedangkan hukum potong tangan adalah wahyu Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim jika syarat dan ketentuannya telah terpenuhi, jika ia tidak melaksanakannya maka ia telah kafir. (Lihat QS. Al-Maidah [5]: 44).
Dalam konteks Pancasila, pezina adalah orang yang sudah terikat dalam hubungan pernikahan tetapi melakukan hubungan seks dengan orang lain, dikatakan berzina apabila mendapat tuntutan dari salah satunya, sedangkan remaja yang berhubungan seks tidak dianggap berzina jika dilakukan atas dasar suka sama suka, mereka pun tidak dihukum sama sekali. Sedangkan menurut Islam mereka adalah pezina semua yang harus dihukum. Bertolak belakang betul konsep adil dan beradab menurut Islam dengan Pancasila.
Contoh lain, Presiden sebagai kepala negara dan pemegang kekuasaan tertinggi negara dapat membebaskan seseorang dari vonis atau hukuman (memberikan Grasi, Amnesti, dan Rehabilitasi), ini adalah adil menurut harkat kemanusiaan. Sedangkan menurut Islam siapa pun tidak berhak membebaskan seseorang dari hukuman yang telah ditentukan, walau Nabi sekali pun, sebab ini adalah hak tunggal yang hanya dimiliki oleh Allah saja.
Dalam bidang ekonomi, ekonomi Pancasila yang digembar-gemborkan sebagai sistem ekonomi kerakyatan, pada kenyataannya adalah sistem ekonomi kapitalisme, mengutamakan hak perorangan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, tanpa mempunyai kewajiban sedikit pun untuk mengeluarkan hartanya untuk kepentingan sosial, yang dalam Islam dikenal dengan Zakat, inikah kemanusiaan yang adil menurut Pancasila?
Dalam Islam, riba itu haram, tetapi bagi sistem
ekonomi Pancasila, riba itu halal, makanya keuangan negara sangat bertumpu pada
utang-utang berbasis riba dan sah-sah saja bila tiap tahun pemerintah diperbolehkan
menambah utang-utang baru berbasis riba.
Makna sila kedua yang diajarkan di semua sekolah umum di Indonesia sudah jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam, karena sifat manusia tidak terlepas dari nafsu yang selalu condong ke arah maksiat, itulah sebabnya Islam tidak mengizinkan seseorang untuk mengikuti harkat kemanusiaan yang berdasarkan pada hawa nafsu belaka, tetapi setiap individu manusia harus tunduk di bawah kehendak wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur [24]: 51)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Itulah konsep Islam, hawa nafsu manusia harus tunduk
di bawah ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Islam akan membentuk manusia-manusia
yang adil dan beradab, bukan zalim dan biadab sepeti sekarang ini. Banyak orang
zalim pada level elit politik sekarang, mereka memungkiri kebenaran Islam yang
mutlak karena hendak mencari keuntungan harta dan kekuasaan bagi diri sendiri,
dan mereka mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah
kawan atau keluarga sendiri. Lucunya, orang-orang zalim, biadab, dan jahiliyah
yang seperti itulah yang justru mendapatkan suara terbanyak tatkala Pemilu
digelar.
Mudah-mudahan rumah tangga kaum Muslim dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia benar-benar mampu melahirkan
manusia-manusia yang adil dan beradab, sebagaimana yang telah dikonsepkan dalam
Islam; bukan manusia-manusia yang zalim dan biadab sebagaimana yang telah
dikonsepkan oleh ideologi selain Islam.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar