Senin, 21 Juli 2014

Menggugat Pancasila (2)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
#Sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab

Dalam konteks Pancasila, suatu perbuatan dianggap adil dan beradab apabila sesuai dengan sifat manusiawi (kemanusiaan). Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan lingkungan.
Pendidikan Pancasila di berbagai institusi pendidikan umum di Indonesia memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa sila kedua dalam Pancasila diharapkan dapat mendorong seseorang untuk senantiasa menghormati harkat dan martabat orang lain sebagai pribadi dan anggota masyarakat. Dengan sikap ini diharapkan dapat menyadarkan bahwa dirinya merupakan makhluk sosial yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Pancasila dijadikan pedoman hidup bangsa Indonesia dengan harapan agar bangsa Indonesia dapat mencapai kesejahteraan lahir dan batin dalam masyarakat yang heterogen. Namun, faktanya tidak demikian. Bangsa Indonesia hingga saat ini justru tidak sejahtera lahir dan batin. Secara teori, Pancasila diharapkan menjadi jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah laku sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain.

Salah satu nilai yang ditanamkan melalui Pancasila adalah mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Namun, saat ini yang terjadi justru sebaliknya, di semua lini masyarakat terjadi degradasi perilaku masyarakat Indonesia. Kerusakan moral di dalam masyarakat membuktikan bahwa sila kedua hanya sekedar teori yang tidak diimplementasikan. Sila kedua Pancasila tidak dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat.

Ideologi Pancasila menghendaki agar semua warga negara Indonesia dapat mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Setiap manusia mempunyai martabat, sehingga tidak boleh melecehkan manusia yang lain, atau menghalangi manusia lain untuk hidup secara layak, serta menghormati kepunyaan atau milik (harta, sifat, dan karakter) orang lain. Namun sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk memaksa umat Islam agar mengakui bahwa agama lain selain Islam juga mengandung nilai kebenaran., bukan cuma Islam saja agama yang benar.

Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga negara Indonesia dapat saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki adanya suatu keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa untuk memiliki dan kalau perlu pengorbanan untuk mempertahankannya. Dengan perasaan cinta pula manusia dapat meningkatkan kualitas relasi sosial seperti kerjasama, gotong-royong, dan solidaritas. Dengan rasa cinta kasih itu pula orang akan berbuat ikhlas, saling membesarkan hati, saling berlaku setia dan jujur, saling menghargai harkat dan derajat satu sama lain. Namun sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari kita temui bahwa nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir agar umat Islam di Indonesia mau saling berkasih sayang, bekerja sama, dan mencintai orang kafir sampai-sampai apa pun keinginannya harus dipenuhi. Orang kafir tidak ingin Syariat Islam tegak di Indonesia, umat Islam harus setuju sebagai bentuk kasih sayang dan kerja sama dengan orang-orang kafir.

Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga negara Indonesia dapat mengembangkan sikap tenggang rasa. Sikap ini menghendaki adanya usaha dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sikap tenggang rasa harus diwujudkan dalam toleransi beragama. Namun sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk memaksa umat Islam di Indonesia agar menghargai agama lain, agar umat Islam mengakui bahwa agama selain Islam juga dipertimbangkan dalam membuat dan menerapkan hukum positif.

Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga negara Indonesia tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti sewenang-wenang, berat sebelah, dan tidak berimbang. Setiap manusia tidak boleh sewenang-wenang, harus menjunjung tinggi hak dan kewajiban orang lain. Namun sayangnya, nilai-nilai tersebut justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir agar muslim di Indonesia tidak sewenang-wenang menentukan agama Islam sebagai dasar negara, umat Islam tidak boleh sewenang-wenang menerapkan hukum potong tangan bagi para koruptor, umat Islam tidak boleh sewenang-wenang mengharamkan pemerintah RI menghentikan utang-utang berbasis riba, dll.

Pendidikan Pancasila menghendaki agar setiap warga negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap warga negara harus menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik, mengakui adanya masyarakat yang bersifat majemuk, melakukan sesuatu dengan pertimbangan moral, melakukan sesuatu dengan jujur dan kompetisi yang sehat, memerhatikan kehidupan yang layak antar sesama, dan melakukan kerja sama dengan itikad baik dan tidak curang. Namun sayangnya, alasan menghargai nilai kemajemukan atau pluralitas justru dimanfaatkan oleh orang-orang kafir dan munafik untuk menghentikan upaya penegakkan Syariat Islam.

Pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah umum menghendaki agar segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kodrat manusiawi (lebih tepatnya nafsu manusia) tidak diterima dan dibenarkan, padahal manusia yang tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat akan cenderung mengikuti hawa nafsu yang sesat.

Jika dicermati dalam sudut ”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua sebagai bagian dari Pancasila menunjukkan pengaruh besar dari konsep Islam terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh  Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?  Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”, sebab kedua istilah dan konsep itu memang istilah yang khas Islam.

Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya ”adab”? Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal, tidaklah salah jika orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami.

Rumusan sila kedua Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila secara teori bukan sebuah konsep sekuler atau konsep netral agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini. Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam (Islamic worldview) pada rumusan Pancasila.

Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS. An-Nahl [16] : 90). 

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar,  menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.

Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya.

Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau feminis liberal yang berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang mereka nilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.

Mereka mempertanyakan mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan hanya satu kambing, mengapa soal harta warisan anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari yang didapat anak perempuan.  Bagi mereka orang-orang kafir dan munafik, konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain,  bisa dikatakan tidak adil.

Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat” dengan ”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi, amnesti, dan rehabilitasi kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluarga korban kejahatan.

Jadi, kata adil memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-alam apa yang digunakan. Sejumlah kalangan dengan alasan Hak Azazi Manusia (HAM)  menilai aturan Islam tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama kalau dibiarkan mereka bisa juga menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan tidak mengganggu orang lain.

Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup, dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki.

Bagi kaum Muslim, cendekiawan Muslim Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya.  Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).

Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi salah satu pihak atau menyamaratakan taraf tanpa batasan”. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah “adab” yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam [Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007]).

Ideologi Pancasila lebih cenderung menjerumuskan orang untuk mengikuti hawa nafsu manusia ketimbang mengikuti ketentuan Allah Ta’ala, misalnya:

Hukuman potong tangan bagi pencuri, perampok, atau koruptor dan hukuman rajam bagi pezina dianggap tidak manusiawi, tidak beradab, dan melanggar Hak Azazi Manusia (HAM), sehingga tidak dapat diterima oleh Pancasila, sedangkan hukum potong tangan adalah wahyu Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim jika syarat dan ketentuannya telah terpenuhi, jika ia tidak melaksanakannya maka ia telah kafir. (Lihat QS. Al-Maidah [5]: 44).

Dalam konteks Pancasila, pezina adalah orang yang sudah terikat dalam hubungan pernikahan tetapi melakukan hubungan seks dengan orang lain, dikatakan berzina apabila mendapat tuntutan dari salah satunya, sedangkan remaja yang berhubungan seks tidak dianggap berzina jika dilakukan atas dasar suka sama suka, mereka pun tidak dihukum sama sekali. Sedangkan menurut Islam mereka adalah pezina semua yang harus dihukum. Bertolak belakang betul konsep adil dan beradab menurut Islam dengan Pancasila.

Contoh lain, Presiden sebagai kepala negara dan pemegang kekuasaan tertinggi negara dapat membebaskan seseorang dari vonis atau hukuman (memberikan Grasi, Amnesti, dan Rehabilitasi), ini adalah adil menurut harkat kemanusiaan. Sedangkan menurut Islam siapa pun tidak berhak membebaskan seseorang dari hukuman yang telah ditentukan, walau Nabi sekali pun, sebab ini adalah hak tunggal yang hanya dimiliki oleh Allah saja.

Dalam bidang ekonomi, ekonomi Pancasila yang digembar-gemborkan sebagai sistem ekonomi kerakyatan, pada kenyataannya adalah sistem ekonomi kapitalisme, mengutamakan hak perorangan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, tanpa mempunyai kewajiban sedikit pun untuk mengeluarkan hartanya untuk kepentingan sosial, yang dalam Islam dikenal dengan Zakat, inikah kemanusiaan yang adil menurut Pancasila?

Dalam Islam, riba itu haram, tetapi bagi sistem ekonomi Pancasila, riba itu halal, makanya keuangan negara sangat bertumpu pada utang-utang berbasis riba dan sah-sah saja bila tiap tahun pemerintah diperbolehkan menambah utang-utang baru berbasis riba.

Makna sila kedua yang diajarkan di semua sekolah umum di Indonesia sudah jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam, karena sifat manusia tidak terlepas dari nafsu yang selalu condong ke arah maksiat, itulah sebabnya Islam tidak mengizinkan seseorang untuk mengikuti harkat kemanusiaan yang berdasarkan pada hawa nafsu belaka, tetapi setiap individu manusia harus tunduk di bawah kehendak wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur [24]: 51)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Itulah konsep Islam, hawa nafsu manusia harus tunduk di bawah ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Islam akan membentuk manusia-manusia yang adil dan beradab, bukan zalim dan biadab sepeti sekarang ini. Banyak orang zalim pada level elit politik sekarang, mereka memungkiri kebenaran Islam yang mutlak karena hendak mencari keuntungan harta dan kekuasaan bagi diri sendiri, dan mereka mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. Lucunya, orang-orang zalim, biadab, dan jahiliyah yang seperti itulah yang justru mendapatkan suara terbanyak tatkala Pemilu digelar.

Mudah-mudahan rumah tangga kaum Muslim dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia benar-benar mampu melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab, sebagaimana yang telah dikonsepkan dalam Islam; bukan manusia-manusia yang zalim dan biadab sebagaimana yang telah dikonsepkan oleh ideologi selain Islam. 

 Bersambung... 


Artikel Terkait Ideologi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...