Ada satu hal yang saat ini perlu kita pikirkan bersama, terutama bagi para
'pendekar dan penegak syariah Islam'. Seandainya -ini cuma seandainya saja-
seandainya, tiba-tiba para penguasa sekuler itu terguling atau entah dapat
hidayah lewat mana, tiba-tiba mereka bilang, "Yah sudah, sekarang kami
sudah tobat, ayo kita gunakan hukum Islam", lalu apakah masalah sudah
selesai? Apakah proses penegakan syariah Islam sesederhana itu? Apakah hanya
dengan melengserkan para penguasa sekuler dan kemudian diganti jadi negara
Islam, atau apa lah istilahnya, masalah sudah selesai?
Sementara kita tahu persis bahwa sebenarnya masih banyak kendala utama dan
justru esensial sekali, tapi selama ini luput dari perhatian kita. Perhatian
kita selama ini lebih banyak terkuras untuk memperjuangkan syariah Islam di
level parlemen. Padahal kalau kita cermati dengan hati lapang dan luas, tetap
ada wilayah kerja lain yang sebenarnya jauh lebih sulit untuk diperjuangkan.
Urusan mengegolkan syariah Islam di parlemen mungkin hanya satu dari seribu
kendala tegaknya syariah Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada
teman-teman yang sedang 'berjuang' di parlemen dengan menyerap begitu banyak
sumber daya, tapi harus kita akui pe-er besar kita ternyata bukan di parlemen.
Pe-er besar kita justru ada di tengah diri umat Islam sendiri. Dan kejadian
demi kejadian dalam garis lintasan sejarah seharusnya sudah cukup untuk menjadi
guru besar kita, bahwa kekuasaan bukan berarti tujuan utama perjuangan. Dan
bukan garis finish yang akan kita lewati. Sebab berapa banyak kekuatan Islam
yang pada akhirnya bisa mencapai puncak kekuasaan, tetapi ujung-ujungnya mereka
harus menyerah pada kenyataan. Ternyata dengan naiknya sebuah kekuatan Islam ke
puncak kekuasaan di suatu negeri, tidak ada kaitannya dengan tegak atau tidak
tegaknya syariah Islam di negeri itu.
Bukankah Erbakan pernah menjadi perdana menteri di Turki? Bukankah Muhammad
Dhia'ulhaq pernah berkuasa di Pakistan? Bukankah Iran dipimpin oleh para tokoh
yang mengaku menegakkan Islam, meski dengan aqidah syi'ah yang banyak dikritik?
Dan bukankah beberapa partai Islam juga telah menang di berbagai negeri?
Bukankah kemenangan mutlak di pemilu telah pernah diraih FIS di Aljazair dan
REFAH di Turki serta Jamiat Islami di Pakistan?
Tanpa mengecilkan peran dan jasa perjuangan mereka, tapi kalau kita amati,
ternyata semua itu tidak selalu ekivalen dengan tingkat penerapan syariah
Islam. Setidaknya, kehidupan rakyat masih belum berubah, yang miskin masih
miskin dan yang bodoh tetap masih bodoh. Hutang negara itu dan tingkat
ketergantungan kepada negara adidaya yang dikuasai lobi yahudi masih tinggi.
Produksi dalam negeri negara itu masih saja rendah, mereka masih menjadi negara
yang nyaris 100 persen bergantung kepada belas kasihan (baca: jerat) negara
adidaya.
Atau kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain, misalnya dari sudut
hukum hudud, ternyata kita juga tidak lantas menyaksikan hukum potong tangan,
rajam, dan cambuk berlaku di negara itu. Mengingat bahwa sebagian teman kita
punya pandangan sederhana, bahwa tegaknya syariah Islam cukup diukur dari
pelaksanaan hukum hudud. Lalu apa yang masih kurang? Dan apa yang salah?
Kalau salah sih tidak juga, dan sebenarnya tidak ada yang salah. Segala
perjuangan untuk mencapai kekuasaan demi memperjuangkan syariah di level
parlemen memang bukan tanpa arti. Kami pun tidak pernah berpikir untuk
mengecilkan peran dan prestasi itu. Tapi ada satu hal yang mungkin kita sering
lupa, yaitu kekuatan fundamental di landasan yang menjadi fundamen esensial
malah seringkali terlupakan. Fundamen itu adalah penyiapan umat untuk bisa
mengenal, mengetahui, merasakan manisnya, dan merindukan tegaknya syariah
Islam. Itu yang justru selama ini lepas dan luput dari perhatian kita.
Betapa banyak umat Islam yang belum tahu cara berwudhu, yang lainnya tidak
tahu apa saja yang membatalkan shalat. Yang lain masih saja menikah tanpa wali,
atau malah asyik berkampanye untuk poligami. Lima belas ribuan pertanyaan yang
masih ke database kami cukup untuk membuktikan hal itu.
Janganlah kita bertanya tentang hal-hal yang lebih dalam dari syariah
Islam. Bahkan hal-hal yang terlalu fundamental sekalipun masih saja hilang dari
daya tahan umat ini. Jadi perang kita ini sebenarnya tidak vis a vis dengan
orang kafir yang memusuhi agama Islam, tapi 'perang' kita ini lebih banyak untuk
melawan 'kebodohan' dan 'keawaman' umat Islam dari syariah Islam itu sendiri.
Pelajaran dan kuliah syariah Islam itu boleh dibilang tidak pernah ada di
negeri ini. Sebab pesantren kini sudah mulai kehilangan santri. Jumlahnya pun
amat terbatas. Kalau pun pernah belajar syariah, umumnya bangsa kita hanya
mendapat porsi yang sangat kecil, yang sama sekali tidak cukup untuk sekedar
bekal hidup, itu pun hanya semata kita dapat sewaktu masih kecil mengaji di
TPA, dengan para pengajar yang tingkat kelimuannya di bidang syariah yang amat
terbatas pula, kalau tidak mau dibilang memprihatinkan. Walhasil, kendala
terbesar kita malahan bukan musuh di luar, tapi justru ada di dalam diri kita
masing-masing. Umat ini tidak pernah berupaya melahirkan generasi yang
setidaknya 'melek' syariah.
Ketika teman-teman 20-an tahun yang lalu lalu menggagas berdirinya SDIT
(Sekolah Dasar Islam Terpadu), kami kira nantinya siswa-siswi itu akan
diajarkan tentang syariah Islam secara intensif. Eh, ternyata kami harus kecewa
lagi, karena umumnya tidak ada bedanya dengan SD biasa, kecuali jam
pelajarannya ditambah di sana sini, plus baca Iqro dan sedikit tahfizd Quran.
Sehingga otomatis bayarannya juga 'terpaksa' bertambah pula. Sampai ada
teman yang memplesetkan singkatan TERPADU menjadi TERpaksa PAkai DUit.
Tapi
yang teramat menyedihkan, ternyata SDIT-SDIT itu juga pernah peduli
untuk mengajarkan bahasa Arab secara serius. Kalau pun ada, hanya sampai hadza
dan hadzihi, tidak lebih. Yang jelas, lulus SDIT itu anak-anak kita tetap tidak
paham makna bacaan Quran yang dengan fasih dilantunkan, tetapi tidak paham ketika
membunyikan tulisan hadits nabawi, juga tetap tidak nyambung kalau
berkomunikasi dengan teman-temannya dari negeri Islam di Timur Tengah lewat
chat. Apalagi membaca rujukan buku syariah Islam. Bisa-bisa mereka bilang
kitab-kitab itu salah cetak. Terus anak-anak kita mau dibawa ke mana?
Bukan apa-apa, 20 juta komunitas yahudi di dunia ini sudah memastikan bahwa
anak-anak mereka mutlak harus bisa bahasa Ibrani, karena pada bahasa itulah
mereka bersatu dan memiliki kekuatan. Dan Talmud itu berbahasa Ibrani. Dan
mereka bangga dengan bahasa Ibraninya. Dan nyatanya, tidak ada balita yahudi
kecuali mereka paham dan bisa berkomunikasi dengan bahasa Ibrani.
Bersambung....
Assalamualaikum kak, saya pembaca baru artikel kakak.. Saya ingin bertanya nasalah Islam, bisa kakak kasih tahu alamat email kaka?
BalasHapusSalam myeshaz_zahra