Rabu, 17 Juli 2013

Hukum Menegakkan Syariah Islam di Indonesia (2)

Ada satu hal yang saat ini perlu kita pikirkan bersama, terutama bagi para 'pendekar dan penegak syariah Islam'. Seandainya -ini cuma seandainya saja- seandainya, tiba-tiba para penguasa sekuler itu terguling atau entah dapat hidayah lewat mana, tiba-tiba mereka bilang, "Yah sudah, sekarang kami sudah tobat, ayo kita gunakan hukum Islam", lalu apakah masalah sudah selesai? Apakah proses penegakan syariah Islam sesederhana itu? Apakah hanya dengan melengserkan para penguasa sekuler dan kemudian diganti jadi negara Islam, atau apa lah istilahnya, masalah sudah selesai?


Sementara kita tahu persis bahwa sebenarnya masih banyak kendala utama dan justru esensial sekali, tapi selama ini luput dari perhatian kita. Perhatian kita selama ini lebih banyak terkuras untuk memperjuangkan syariah Islam di level parlemen. Padahal kalau kita cermati dengan hati lapang dan luas, tetap ada wilayah kerja lain yang sebenarnya jauh lebih sulit untuk diperjuangkan.

Urusan mengegolkan syariah Islam di parlemen mungkin hanya satu dari seribu kendala tegaknya syariah Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada teman-teman yang sedang 'berjuang' di parlemen dengan menyerap begitu banyak sumber daya, tapi harus kita akui pe-er besar kita ternyata bukan di parlemen.

Pe-er besar kita justru ada di tengah diri umat Islam sendiri. Dan kejadian demi kejadian dalam garis lintasan sejarah seharusnya sudah cukup untuk menjadi guru besar kita, bahwa kekuasaan bukan berarti tujuan utama perjuangan. Dan bukan garis finish yang akan kita lewati. Sebab berapa banyak kekuatan Islam yang pada akhirnya bisa mencapai puncak kekuasaan, tetapi ujung-ujungnya mereka harus menyerah pada kenyataan. Ternyata dengan naiknya sebuah kekuatan Islam ke puncak kekuasaan di suatu negeri, tidak ada kaitannya dengan tegak atau tidak tegaknya syariah Islam di negeri itu.

Bukankah Erbakan pernah menjadi perdana menteri di Turki? Bukankah Muhammad Dhia'ulhaq pernah berkuasa di Pakistan? Bukankah Iran dipimpin oleh para tokoh yang mengaku menegakkan Islam, meski dengan aqidah syi'ah yang banyak dikritik? Dan bukankah beberapa partai Islam juga telah menang di berbagai negeri? Bukankah kemenangan mutlak di pemilu telah pernah diraih FIS di Aljazair dan REFAH di Turki serta Jamiat Islami di Pakistan?

Tanpa mengecilkan peran dan jasa perjuangan mereka, tapi kalau kita amati, ternyata semua itu tidak selalu ekivalen dengan tingkat penerapan syariah Islam. Setidaknya, kehidupan rakyat masih belum berubah, yang miskin masih miskin dan yang bodoh tetap masih bodoh. Hutang negara itu dan tingkat ketergantungan kepada negara adidaya yang dikuasai lobi yahudi masih tinggi. Produksi dalam negeri negara itu masih saja rendah, mereka masih menjadi negara yang nyaris 100 persen bergantung kepada belas kasihan (baca: jerat) negara adidaya.

Atau kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain, misalnya dari sudut hukum hudud, ternyata kita juga tidak lantas menyaksikan hukum potong tangan, rajam, dan cambuk berlaku di negara itu. Mengingat bahwa sebagian teman kita punya pandangan sederhana, bahwa tegaknya syariah Islam cukup diukur dari pelaksanaan hukum hudud. Lalu apa yang masih kurang? Dan apa yang salah?

Kalau salah sih tidak juga, dan sebenarnya tidak ada yang salah. Segala perjuangan untuk mencapai kekuasaan demi memperjuangkan syariah di level parlemen memang bukan tanpa arti. Kami pun tidak pernah berpikir untuk mengecilkan peran dan prestasi itu. Tapi ada satu hal yang mungkin kita sering lupa, yaitu kekuatan fundamental di landasan yang menjadi fundamen esensial malah seringkali terlupakan. Fundamen itu adalah penyiapan umat untuk bisa mengenal, mengetahui, merasakan manisnya, dan merindukan tegaknya syariah Islam. Itu yang justru selama ini lepas dan luput dari perhatian kita.

Betapa banyak umat Islam yang belum tahu cara berwudhu, yang lainnya tidak tahu apa saja yang membatalkan shalat. Yang lain masih saja menikah tanpa wali, atau malah asyik berkampanye untuk poligami. Lima belas ribuan pertanyaan yang masih ke database kami cukup untuk membuktikan hal itu.

Janganlah kita bertanya tentang hal-hal yang lebih dalam dari syariah Islam. Bahkan hal-hal yang terlalu fundamental sekalipun masih saja hilang dari daya tahan umat ini. Jadi perang kita ini sebenarnya tidak vis a vis dengan orang kafir yang memusuhi agama Islam, tapi 'perang' kita ini lebih banyak untuk melawan 'kebodohan' dan 'keawaman' umat Islam dari syariah Islam itu sendiri.

Pelajaran dan kuliah syariah Islam itu boleh dibilang tidak pernah ada di negeri ini. Sebab pesantren kini sudah mulai kehilangan santri. Jumlahnya pun amat terbatas. Kalau pun pernah belajar syariah, umumnya bangsa kita hanya mendapat porsi yang sangat kecil, yang sama sekali tidak cukup untuk sekedar bekal hidup, itu pun hanya semata kita dapat sewaktu masih kecil mengaji di TPA, dengan para pengajar yang tingkat kelimuannya di bidang syariah yang amat terbatas pula, kalau tidak mau dibilang memprihatinkan. Walhasil, kendala terbesar kita malahan bukan musuh di luar, tapi justru ada di dalam diri kita masing-masing. Umat ini tidak pernah berupaya melahirkan generasi yang setidaknya 'melek' syariah.

Ketika teman-teman 20-an tahun yang lalu lalu menggagas berdirinya SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), kami kira nantinya siswa-siswi itu akan diajarkan tentang syariah Islam secara intensif. Eh, ternyata kami harus kecewa lagi, karena umumnya tidak ada bedanya dengan SD biasa, kecuali jam pelajarannya ditambah di sana sini, plus baca Iqro dan sedikit tahfizd Quran.
Sehingga otomatis bayarannya juga 'terpaksa' bertambah pula. Sampai ada teman yang memplesetkan singkatan TERPADU menjadi TERpaksa PAkai DUit. 

Tapi yang teramat menyedihkan, ternyata SDIT-SDIT itu juga pernah peduli untuk mengajarkan bahasa Arab secara serius. Kalau pun ada, hanya sampai hadza dan hadzihi, tidak lebih. Yang jelas, lulus SDIT itu anak-anak kita tetap tidak paham makna bacaan Quran yang dengan fasih dilantunkan, tetapi tidak paham ketika membunyikan tulisan hadits nabawi, juga tetap tidak nyambung kalau berkomunikasi dengan teman-temannya dari negeri Islam di Timur Tengah lewat chat. Apalagi membaca rujukan buku syariah Islam. Bisa-bisa mereka bilang kitab-kitab itu salah cetak. Terus anak-anak kita mau dibawa ke mana?

Bukan apa-apa, 20 juta komunitas yahudi di dunia ini sudah memastikan bahwa anak-anak mereka mutlak harus bisa bahasa Ibrani, karena pada bahasa itulah mereka bersatu dan memiliki kekuatan. Dan Talmud itu berbahasa Ibrani. Dan mereka bangga dengan bahasa Ibraninya. Dan nyatanya, tidak ada balita yahudi kecuali mereka paham dan bisa berkomunikasi dengan bahasa Ibrani.

Bersambung....

Artikel Terkait Politik

1 komentar:

  1. Assalamualaikum kak, saya pembaca baru artikel kakak.. Saya ingin bertanya nasalah Islam, bisa kakak kasih tahu alamat email kaka?
    Salam myeshaz_zahra

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...