Rabu, 14 Desember 2016

Nasionalisme adalah ‘Ashobiyah

Bismillah,

Kalau kita perhatikan, setiap kali umat Islam di Indonesia melakukan aksi yang melibatkan massa dalam jumlah besar, selalu saja diikuti dengan diadakannya aksi tandingan oleh kelompok-kelompok yang mengusung nasionalisme. Bahkan, hampir semua media massa menisbikan gagasan Islam dan justru membingkai narasi pada ide kebhinekaan, persatuan bangsa, atau toleransi. Dari sini kita bisa melihat, adanya persaingan membangun opini publik yang terjadi antara dua kelompok, yakni kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Jika memang demikian, nasionalisme tentu tak sejalan dengan Islam, atau dengan kata lain, nasionalisme adalah paham yang bertentangan dengan Islam. Mari kita bahas lebih mendalam. 

Nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu hanya kepada bangsa dan tanah airnya dengan maksud agar individu memiliki sikap mental atau perbuatan yang mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi kemajuan, kehormatan, kesejahteraan bangsa, dan tegaknya kedaulatan negara bangsa (nation state) berdasarkan prinsip kebersamaan, persatuan dan kesatuan, dan demokrasi. Dari definisinya saja kita bisa melihat betapa nasionalisme sangat bertentangan dengan Islam. 

Dalam Islam, kesetiaan tertinggi seorang individu hanya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya saja, bukan kepada entitas lain. Sementara dalam nasionalisme, kesetiaan itu ditujukan kepada bangsa, negara, dan tanah air. Dengan menempatkan kesetiaan tertinggi kepada bangsa, negara, dan tanah air, maka paham nasionalisme bertentangan dengan konsep Tauhid, Laa ilaaha illallah, tiada sesembahan selain Allah, tiada loyalitas tertinggi selain kepada Allah. 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali ‘Imraan [3] : 103). 

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kebersamaan yang dimaksud dalam Islam adalah kebersamaan aqidah. Begitu juga dengan persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan dalam Islam adalah persatuan dan kesatuan aqidah. Adapun kebhinekaan, keberagaman, adalah nomor sekian, tempatnya di bawah persatuan dan kesatuan aqidah. Para penganut paham nasionalisme, atau biasa disebut sebagai kaum nasionalis, menempatkan terminologi kebhinekaan, keberagaman, kebersamaan, atau toleransi, untuk membela orang atau individu dalam bangsanya yang memiliki sifat maupun karakter kafir, fasik, dan zalim. Inilah yang dimaksud dengan ‘Ashobiyah. 

‘Ashobiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapa pun yang menyerang mereka. Menurutnya, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka zalim. (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab,I/606). 

Jadi, nasionalisme adalah salah satu bentuk ‘Ashabiyah. Kaum nasionalis tentu tak setuju dengan pernyataan itu. Tak mengapa, kita kembalikan saja pada hadits-hadits shahih. 

“Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajaliy, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada kebangsaan atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah.”(HR. Muslim No.3440). 

“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berperang di bawah bendera kefanatikan dan menyeru kepada fanatisme, atau marah karena fanatisme, maka matinya menyerupai mati jahiliyyah.” (HR. Ibnu Majah No.3938). 

Menurut As Sindi, ummiyyah atau immiyyah adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jama’ah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Oleh karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub (fanatik) tersebut, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah (As-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibn Majah, VII/318). 

Dengan demikian, jelas bahwa makna ‘ashabiyyah di sini bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan emosi dan hawa nafsu. 

Islam tidak mengakui setiap loyalitas kepada selain aqidahnya, tidak mengakui perserikatan kecuali ukhuwah Islamiyyah dan tidak mengakui ciri khas yang membedakan manusia kecuali iman dan kekafiran (Ahmad Ar Rifa’i, 2011). 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa para pembawa bendera ‘ashabiyah yang memecah belah kaum muslimin harus dibunuh, 

“'Arfajah berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Suatu saat nanti akan terjadi bencana dan kekacauan, maka siapa saja yang hendak memecah belah persatuan ummat ini, penggallah dengan pedangmu, siapa pun orangnya.” (HR. Muslim No.3442). 

Jelas di sana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyebutkan “yang hendak memecah belah persatuan bangsa”, tetapi Rasulullah menegaskan, “yang hendak memecah belah persatuan ummat” itulah yang harus diperangi. 

Dalam riwayat yang lain, “Amru Jabir bin 'Abdullah berkata; "Kami pernah menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu peperangan. Tiba-tiba seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar. LaIu sahabat Anshar itu berseru; 'Hai orang-orang Anshar kemarilah! ' Kemudian sahabat Muhajirin itu berseru pula; 'Hai orang-orang Muhajirin, kemarilah! ' Mendengar seruan-seruan seperti itu, Rasulullah pun berkata: 'Mengapa kalian masih menggunakan cara-cara panggilan jahiliah? ' Para sahabat berkata; 'Ya Rasulullah, tadi ada seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar.' Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tinggalkanlah panggilan dengan cara-cara jahiliah, karena yang demikian itu akan menimbulkan efek yang buruk.” (HR. Muslim No.4682) 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebut panggilan kesukuan, kebangsaan, sebagai panggilan jahiliah. Dengan demikian, jelas bahwa konsep loyalitas dan permusuhan tidak dibangun atas dasar keturunan, golongan, kelompok, atau identitas lainnya yang bersifat duniawi, karena dalam Islam, ikatan yang hakiki hanyalah ikatan aqidah. 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang beriman (yang) bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al-Hujuraat [49] : 10) 

Persaudaraan (al-ukhuwah) dalam Islam hanya terjadi di antara kaum muslimin saja, tidak bagi selainnya. Tidak ada persaudaraan, cinta, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir walaupun mereka adalah orang yang dekat dan memiliki hubungan kerabat dengan seorang muslim. 

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQS. At-Taubah [9] : 23). 

Allah Ta’ala juga menegaskan bahwa tidak mungkin seseorang yang benar-benar beriman dapat berkasih-sayang dengan orang-orang kafir: 

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (TQS. Al Mujaadalah [58] : 22). 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Syaudzab bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu yang membunuh bapaknya (dari golongan kafir Quraisy) dalam perang Badr. Ayat tersebut menegaskan bahwa seorang Mukmin akan mencintai Allah melebihi cintanya kepada sanak keluarganya sendiri. 

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Hakim di dalam Kitab Al-Mustadrak bahwa di dalam perang Badr, (perhatikan ya, ini konteksnya dalam situasi perang, bukan dalam kondisi biasa), Abdullah bin Jarrah (bapaknya Abu ‘Ubaidah, si bapak ini bergabung dalam pasukan orang-orang kafir) menyerang dan ingin membunuh Abu ‘Ubaidah (anak kandungnya). Abu ‘Ubaidah yang bergabung bersama pasukan mukminin lalu berusaha menghindar dengan jalan menangkis serangan bapaknya yang ditujukan kepada dirinya, tapi Abu ‘Ubaidah akhirnya terpaksa membunuh bapaknya dalam perang itu. Sebenarnya yang dibunuh oleh Abu ‘Ubaidah kala itu bukanlah bapaknya, tetapi kesyirikan yang bersarang dalam pribadi bapaknya. 

Kisah Abu ‘Ubaidah melukiskan bahwa cinta seorang mukmin kepada Allah Ta’ala akan melebihi cintanya kepada orang tuanya. Masih ada beberapa hal yang mau saya jelaskan, tapi udah terlalu panjang tulisan kali ini. Kita lanjutkan pada artikel berikutnya aja ya, tentang Islam dan Keadilan. 

Wallahu a’lam.



Artikel Terkait Ideologi

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...