Rabu, 07 Desember 2016

Islam Tanpa Embel-Embel

“...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (TQS. Al-Maaidah [5] : 3) 

Cukuplah firman Allah tersebut sebagai penjelas bahwa Islam itu telah sempurna, tidak perlu ditambah-tambah dan tidak perlu juga dikurang-kurangi. Islam itu satu, Islam ya Islam, ga perlu ditambah dengan kata “nusantara” lalu menjadi islam nusantara. Ajaran yang diakui sebagai ajaran Islam, tetapi ditambah dengan embel-embel tertentu, dapat dipastikan itu adalah aliran sesat, menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Jadi, kalau ada pihak-pihak tertentu yang memunculkan istilah baru seperti islam liberal, islam arab, islam mesir, islam NKRI, islam moderat, atau yang lainnya, maka ajaran tersebut bukanlah ajaran Islam. 

Standard kebenaran dalam Islam adalah Al-qur’an dan As-Sunnah, dan standard tersebut berlaku universal tanpa dipengaruhi batas wilayah geografis. Artinya, hal-hal yang diajarkan di Arab Saudi akan sama persis berlaku di Indonesia, Australia, atau Jepang. Jika di Yaman diajarkan bahwa sholat wajib itu lima waktu, maka di Indonesia pun demikian. Jika di Arab hukum riba itu haram, maka di Indonesia juga begitu. 

Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah musuh Islam, Yahudi dan Nasrani adalah orang kafir, orang beriman diharamkan untuk berkasih sayang dengan orang kafir dan diharamkan mengangkatnya menjadi teman setia apalagi pemimpin, maka hal ini berlaku secara global, tidak bisa dikatakan bahwa karena kita ini bangsa Indonesia, kita tinggal di wilayah NKRI, maka kita harus junjung tinggi kebhinekaan, maka orang-orang Nasrani adalah teman kita, saudara kita, harus kita cintai, harus kita dukung menjadi pemimpin kita. Nauzubillahi min zaalik, itu adalah kesalahan fatal. 

Kebhinekaan, perbedaan, adalah fakta, realitas yang tak bisa dipungkiri, tetapi jangan sampai rasa bangga dan upaya menjunjung kebhinekaan itu menyelisihi syari’at yang telah Allah tetapkan. Soal hubungan dengan orang-orang Nasrani dan orang kafir lainnya, Islam sudah memberikan batasan-batasan yang sangat jelas. Diperbolehkan bermuamalah dengan orang kafir, tapi diharamkan mengangkatnya menjadi teman setia dan pemimpin. Diperbolehkan memerangi orang kafir secara fisik dengan syarat tertentu, tapi diharamkan membunuh wanita, anak-anak, dan orang yang lemah tak berdaya. 

Jadi, jangan sampai kita kebablasan, jangan berlebihan memusuhi orang kafir sebagaimana teroris membunuh orang kafir tetapi yang dibunuh justru wanita dan anak-anak, jangan pula seperti liberalis yang mencintai orang kafir secara berlebihan dengan mengagung-agungkan dan mengangkat orang kafir menjadi pemimpin. Ambillah sikap di tengah-tengah. Janganlah menjadikan kebhinekaan, keindonesiaan, ke-NKRI-an, sebagai alasan untuk mengingkari perintah dan larangan Alloh Ta’ala, itu adalah ashobiyah (fanatik kebangsaan, kesukuan, atau golongan yang berlebihan). Allah Ta’ala berfirman: 

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali ‘Imran [3] : 103). 

Jadi, yang diutamakan dalam Islam adalah persatuan aqidah, bukan persatuan bangsa. Perbuatan menempatkan nasionalitas atau semangat kebangsaan secara berlebihan di atas Islam adalah ashobiyah. Perihal ashobiyah ini sudah pernah disinggung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak 1.400 tahun yang lalu. 

“Dari putri Watsilah bin Al-Asqa’, ia mendengar ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, “Yaa Rasulullah, apa itu ashobiyah?”. Rasul menjawab: “Engkau menolong kaummu dalam kezaliman.” (HR. Abu Dawud No.4454). 

Dalam Islam, semua negeri adalah milik Allah, hukum Allah adalah hukum yang tertinggi di atas hukum negara mana pun di dunia ini. Oleh karena itu, setiap indvidu hingga negara pun harus tunduk dengan hukum Allah, hukum Allah di atas hukum negara, kalau negara belum menerapkan hukum Allah, maka sudah menjadi tugas kita untuk mendidik rakyat, mendidik generasi muda supaya cinta dengan hukum Allah. Jangan sampai diri kita dan keluarga kita mati dalam keadaan jahiliyah. 

“Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajaliy, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada kebangsaan atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah.” (HR. Muslim No.3440). 

Islam berbeda dengan nasionalisme. Dalam Islam, semua negara adalah milik Allah, tetapi dalam nasionalisme, negara kami adalah milik bangsa kami. Dalam Islam, hukum yang paling tinggi adalah hukum Allah, tetapi dalam nasionalisme, hukum yang paling tinggi adalah hukum yang disepakati bangsa kami. 

Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Allah Ta’ala menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, lihat Surah Al Hujurat ayat 13: 

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." 

Jelas di sana disebutkan bahwa tujuan diciptakan berbangsa-bangsa itu adalah hanya agar manusia saling mengenal satu sama lain, bukan agar saling bekerja sama melakukan kesyirikan dan maksiyat. 

Wallahu A’lam. 

Tentang ashobiyah in syaa Allah akan kita bahas lebih mendalam lagi pada artikel berikutnya. 

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua hidayah keteguhan iman dan Islam.






Artikel Terkait Ideologi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...